haha..

Selasa, 24 Mei 2016

Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Cerpen “Bau Wangi Di Pemakaman”


Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Cerpen “Bau Wangi Di Pemakaman”
Bau wangi di Pemakaman
Karya: Fitri indah yunita

Sore itu selasai sholat Ashar aku  ingin bersepeda keliling kampung menikmati pemandangan yang indah dan asri, sekalian mau  membeli sabun mandi  yang  ibu pesan di warung  persimpangan jalan dekat kampung sebelah yang menjual berbagai barang kebutuhan rumah tangga. Aku bergegas mengambil sepeda yang terparkir di samping rumah, setelah berpamitan dengan ibu aku berangkat dan mengkayuh sepedaku dengan santai.
Pemandangan di kampungku yang sunggu indah masih sangat alami,asri dan jauh dari kebisingan kota dan limbah pabri. Kampung ku ini terletak di kecamatan Enok, Indragiri hilir, Riau yang masih kental dengan masyarakat paguyubannya, rasa kekeluargaan, keakraban dan solidaritas masih terlihat, aku bangga dengan kampungku ini.
 Yaa.. walaupun aku  dan anak-anak yang lain tinggal di Enok, anak kampung tapi kami tidak kampungan, contohnya saja kami masih bisa browsing, chatt, dan sabagainya seperti anak modern yang lainnya, yaa.. tidak ketinggalan zaman lah hehe.
Asyik bersepeda sambil bersenandung tidak terasa aku sampai di persimpangan jalan depan warung yang terletak tak jauh dari kampung sebelah, aku langsung memarkir sepeda dan masuk ke warung. “ Bang, ada jual sabun mandi?” Tanya ku dengan abang penjual yang duduk di depan warungnya. “ ada, masuk lah, pilih saja.” Setelah bertanya aku langsung masuk dan mencari sabun sesuai merk yang ibuku pesan.
Setelah mandapat sabun yang di cari  aku langsung membayarnya, dan kembali menuju tempat sepada ku parkir, ku lirik jam tangan menunjuk pukul 04.25 wib, aku bergegas  menaikinnya dan mengkayuh sepeda meninggalkan warung persimpangan jalan itu, ku percepat kayuhanku karena waktu yang aku tempuh dari kampungku ke persimpangan jalan memakan waktu setengah jam, jadi aku harus sampai ke rumah sebelum jam lima.
Angin bertiup kencang dan dingin sekali, dari persimpangan jalan ke kampungku harus melalui kompleks pemakaman umum yang tak jauh dari jalan karena tidak ada jalan lain yang dilalui. Setelah ku lalui kompleks pemakaman aku mecium bau wangin yang sangat tajam kontak bulu kudukku merinding, ku percepat kayuhanku semakin ku percepat bau wangi itu semakin menyengat. “Aduuuuhh.. jangan-jangan… “ Telintas di benakku kalau sore ini memang sore jumat, kata orang dulu kalau jumat memang keramat.


Ku alihkan pikiranku “Ah..mungkin hanya bau bunga yang ada di pemakaman”. Tapi, perasaan ku semakin menjadi setelah aku ingat kemarin sore memang ada orang meninggal dengan mengenaskan dan di makamkan di kompleks itu, perasaanku semakin manjadi tidak karuan dan seolah bau wangi itu selalu mengikutiku, semakin ku percepat kayuhan sepedaku bau itu semakin menyengat. Dengan laju aku membawa sepeda semua di depanku aku langgar, lobang, becek, ilalang tajam tidak ku hiraukan yang terpeting sekarang aku sampai rumah secepatnya, sambil ngos-ngosan aku masuk ke pekarang rumah dan langsung menghambur, ku parkir sepeda dan langsung masuk ke dalam rumah, ibu yang melihat gelagakku langsung bertannya “Ada apa? Kaya di kejar setan saja?”. Dan aku langsung menceritakan semua kejadian di pemakaman, kalau ada bau wangi dan ada yang mengikutiku. “Ah, itu mungkin Cuma perasaan mu saja, oh iya.. mana sabun mandi yang ibu pesan tadi?” aku baru ingat sabun mandi yang ibu pesan ketinggalan di sepeda, dan aku bergegas mengambilnya di parkiran,  mengambil sabun dan menyerahkan keibu, sebelum ku serahkan kucium bau sabun itu dan ternyata begitu malunya dan gelihatinya aku membayangkan ternyata bau wangi yang aku cium tadi di pemakaman ternyata adalah bau sabun ini yang aku beli di warung persimpangan jalan tadi. Ooohhh.. ternyata….setelah sabun itu ku berikan ke ibu dengan malu ku ceritakan dengan ibu “Bu, ternyata bau wangi di pemakaman tadi adalah sabun ini” sambil menunjuk sabun mandi itu, “Hahaha..kamu ini, makanya jangan langsung berpikiran horror, ya sudah kamu ambil handuk dan segera mandi, ini sabun nya.” Dan aku langsung menuju kamar dan mengambil handuk dan mandi.
A.                Unsur intrinsik

1.      Tema cerpen “bau wangi di pemakaman” ini adalah tentang horor dan komedi
2.      Amanat dari cerpen tersebut yaitu janganlah selalu berpikiran buruk terhadap sesuatu hal, berpikirlah yang baik agar tetap terjadi kebaikan.
3.      Alur cerpen tersebut adalah Alur Maju
4.      Tokoh/penokohan
a)      Tokoh :
1)      Aku
2)      Ibu
3)      Abang pemilik warung



b)      Penokohan:
1)      Aku (Antagonis)
“Penurut, penakut, dan cepat berpikiran negatif”
2)      Ibu  (Antagonis)
“baik, dan selalu memberikan nasihat”
3)      Abang pemilik warung (Antagonis)
“baik”
5.      Setting
1)      Tempat
1)      Samping rumah
2)      Warung persipangan jalan
3)      Kompleks pemakaman
2)      Waktu
1)      Sore hari, setelah sholat Asar
2)      Suasana
1)      Asri, tenang
2)      Mencekam, menyeramkan
6.      Sudut pandang
Sudut pandang dalam cerpen ini menggunakan sudut orang pertama.
7.      Penggunaan bahasa
Cerpen tersebut menggunakan bahasa Indonesia

B.                 Unsur ekstrinsik
1.      Nilai-Nilai yang Terkandung dalam cerpen :
1)      Nilai moral

Saat kita menghadapi masalah jangan selalu berpikiran negatif atau berpikiran buruk, sebaiknya harus tenang agar menghindari kejadian yang tidak ingin dikehendaki.

ANALISIS UNSUR INTRINSIK DAN EKSTRINSIK DALAM CERPEN TUAN PRESIDEN, KERANDA DAN KAPAL SABUT


Tuan Presiden, keranda dan kapal sabut
Pagi ketika sampai di Istana Negara, tuan presiden terheran-heran. Pasalnya, banyak sekali tergelepak keranda mainan dengan jumlah tak terhingga di halaman istana. Di samping keranda-keranda itu, ada satu kapal sabutnya juga mainan. Semua itu di bungkus rapi dalam lipatan kain merah besar yang penuh dengan tulisan berwarna putih. Mungkin saja tulisan itu suatu wasiat.
“Tuan Presiden, kami adalah rakyat.kami tidak bisa memberikan apa-apa, kecuali bingkisan yang tak bermilai ini. Harap tuan sudi membuka, menerima, dan bmemikirkannya dengan lapang dada demi masa depan bangsa dan Negara tercinta ini, ” demikian bunyi tulisan putih pada kain merah pembungkus keranda dan kapal sabut mainan itu yang membuat Tuan Presiden tercenung sejenak. Sedikit pun tiada gemetar di tubuhnya, ya, gemetar laksana ketika kita sedang meresapi indahnya irama azan. Entah apa yang dipikirkannya tatkala itu.
Tuan presiden mendekati kado dari rakyat itu. Tangannya coba mengobel-ngobel keranda. Ternyata, tutupnya bisa dibuka sebagaimana aslinya. Ketika dilihat, masya Allah, ada mayat di dalamnya, tapi mayat-mayatan. Satu per satu keranda tersebut di bukanya, satu per satu pula wajah mayat-mayatan di dalam keranda itu sudah tidak asing lagi baginya. Mereka adalah orang-orang terdekatnya. Ketika keranda terakhir di bukanya, untunglah tuan presiden tidak ambruk karena jantungan. Di dalmnya, terbujur kaku mayatnya sendiri: mayat Tuan Presiden.
Kapal sabut mainan yang berukuran agak besar itu di hampirinya juga. Puas juga tuan presiden meniliknya dari haluan hingga buritan. Sepertinya terdengar pekik pekau suara rakyat dari dalam kapal sabut itu. Walaupun di dalamnya hanya pancangan orang-orangan : ada kematian, kehidupan, jeritan, keputusasaan, jalan buntu, kejahatan dan berjuta macam persoalan hidup rakyat di negeri ini.
“bagaimana dengan kado ini, Tuan?” ajudannya bertanya.
“tolong ada susun rapi di atas meja khusus dan meja khusus itu letakkan di depan meja kerja saya!”
“apakah tidak patut kita buang saja?”
“jangan! kamu tidak tahu. Ini demi marwah dan masa depan bangsa-negara kita. buat saja seperti yang saya perintahkan”
Ajudan itu pun berlalu untuk selanjutbya melaksanakan perintah tuannya, Tuan Presiden.
Kini, saban hari Tuan Presiden menikmati pemandangan yang tentunya menyayat kearifannya. Keranda alias peti mati yang sudah berada di depan meja kerjanya (tentunya) identik dengan kematian itu, menjadi santapanya di waktu-waktu kerja. Ada perasaan heran di hati tuan presiden dengan kado kiriman rakyatnya. Di pikirannya pula, dia meraba-raba apakah rakyatnya menginginkan kematiannya?
“Tapi, itu tidak mungkin, mereka yang langsung menusukku dalam pemilu tanpa melalui dewan perwakilan, “ pikirirnya. “ataukah ini merupakan suatu amarah supaya bangsa dan Negara ini hidup dalam kemakmuran? Ya,…keranda itu tentu demi masa depan bangsa dan Negara, demi kemakmuran.”
Tuan Presiden mendekati meja itu dan mencoba merangkai keranda dan kapal sabut. Dalam baying-bayang, kapal sabut yang timbul-tenggelam itu seperti menunda kematian-kematian yang menyayat kalbu. Dan, kematian-kematian yang di tundanya itu pun mengikuti gerakan timbul tenggelam dalam permainan gelombang yang menghempas Negara ini. Di luar sana, dalam temaramnya malam, burung punduk mendendangkan lagu begitu merdu. Lagu kematian.
***
Kapal sabut yang ditumpangi rakyat masih berlayar dalam krisis yang belum berpenghujung. Keranda-keranda itu akankah menjadi matlamat akan berakhirnya kehidupan rakyat dalam kapal sabut ini? Kelalaian tuan presiden di istana tentu pula akan melekaskan proses pengakhiran pelayaran kapal yang sudah sempoyongan tersebut. Dalam pancangan sinaran pernama dan rasi bintang-bintang di angkasa, rakyat tidak tahu lagi arah tujuannya. Kabut yang teramat tebal telah melumuri kornea mata sehingga tak larat lagi untuk memandang keluasan dan kejauhan.
Badai minyak, harga sembako, dan harga diri itu berulang-ulang menerpa kapal sabut dari semua penjuru. Menerjang buritan, menampar lambung, meninju haluan, dan menginjak badan. Kapal sabut yang di tumpangi rakyat kian meringkik, nyengir kuda, tak sanggup lagi menanggung beban walaupun kita tahu yang namanya kehidupan itu sama dengan beban. Di dalamnya, begitu banyak muatan. Ada cinta dan kasih sayang, gundah-gulanda, sengketa, kelaparan, kemiskinan, dan masa depan.
Senja di pelabuhan rakyat, tuan presiden tunak menikmati keriangan anak-anak kecil yang sedang asyik bermain kapl-kapalan. Pikirannya membayangkan kisah puluhan tahun silam ketika usianya masih sebaya dengan kanak-kanak yang kini sedang di depan matanya.
 Main kapal-kapalan, berlayar, dan pulang ke pangkuan. Mereka berlomba, kapal anak kecil itu terbuat dari sabut yang di beri layar kertas seadanya.
Dari arah tengah laut, mereka masing-masing melepaskan kapal mainannya, tapi anak-anak kecil itu justru merasakan bahwa merekalah yang berada di dalmnya. Menakhodai, mengontrol mesin , membaca kompas, dan sebagalanya. Riak-gelombang perlahan-lahan meloncat ke dalam kapal itu, meresap, dan semakin berat. Angin yang agak sedikit kencang mendorongnya, tapis sayang, kapal sabut itu tidak mampu melaju untuk sampai ke pantai. Kapal sabut itu tenggelam di pertengahan jalan.
“Awas!” tiba-tiba Tuan Presiden tersentak dari renungan panjang di pelabuhan rakyat senja itu. Tangannya mengacung kearah kapal sabut yang baru tenggelam. Wajahnya cemas. Namun, anak yang memiliki kapal sabut itu kelihatan biasa saja. Tenggela di lautan merupakan suatu hal yang lumrah bagi kapal. Begitu pula kelumrahan pesawat terbang yang terhempas, tabrakan kendaraan darat atau bus yang masuk ke jurang. Semua itu adalah adat resam yang tidak bisa di tawar-tawar. Begitulah hukum alam. Seperti halnya juga tugas keranda yang membawa kematian. Dan, kematian yang di maksudkan rakyat adalah kematian demi masa depan bangsa dan Negara.
***
“demi masa depan bangsa dan Negara, kita harus berani membuat keputusan. Keranda, ehm…menyediakan keranda merupakan keputusan yang tepat untuk masa depan bangsa dan Negara yang lebih cerah,” demikian pidato tuan presiden yang di siarkan langsung oleh semua stasiun TV. “keranda adalah simbol kemenangan tanah air ini jika tidak ingin menjadi tanah air mata. Rakyatku…inilah program pemerintah sekarang, mohon sumbangan keranda sebayak-banyaknya untuk persaraan para koruptor. Satu keranda terakhir, aku sisakan untuk diriku. Ini suatu kemutlakan buat Negara kita. suatu kemutlakan yang tidak dapat di ganggu gugat oleh siapa pun. Suatu kemutlakan untuk merepih masa-masa gemilang. 
***
setahun berlalu, tuan presiden bunuh diri di tiang gantungan karena keranda-keranda di istana tidak pernah digunakan. Dia tak mampu menjatuhkan hukuman kapada para koruptor itu. Janjimu, Tuan!***


ANALISIS UNSUR INTRINSIK DAN EKSTRINSIK DALAM CERPEN
Judul Cerpen        : Tuan presiden, keranda dan kapal sabut
Penulis                 : Musa ismail

A.               Unsur-unsur intrinsik

1.     Tema

Tema dalam cerpen berjudul “Tuan Presiden, keranda, dan kapal sabut” adalah tentang kepemimpinan.
2.     Amanat
Sebagai seorang pemimpin kita harus tegas dan tidak lalai dalam memimpin sebuah Negara, dan harus adil dengan rakyat.
3.     Alur
Alur dalam cerpen tersebut adalah alur maju
4.     Tokoh

1.   Tuan presiden
2.  Rakyat
3.  Ajudan
4.  Anak-anak kecil





5.     Penokohan

1)    Tuan presiden (Antagonis)
“tidak tegas, lalai, tidak bisa berbuat apa-apa”
2)    Rakyat (Protagonist)
“tabah, penuh harapan, kuat, dan bertahan”
3)    Ajudan (Protagonis)
“patuh, dan menurut perintah atasannya”

6.     Latar/Setting
1)    Tempat
Ø  Istana Negara
Ø Pelabuhan rakyat
Ø Tengah laut
2)    Waktu
Ø Pagi
Ø Senja
3)    Suasana
Ø Tegang
Ø Cemas
Ø Menyeramkan/ketakutan
7.     Sudut pandang
Menggunakan sudut pandang orang ketiga

8.     Gaya bahasa (majas)
Menggunakan majas simbolik
Melukiskan sesuatu dengan menggunakan simbol atau lambing untuk menyatakan maksud.







B.   UNSUR-UNSUR EKSTRINSIK

1.    Nilai-Nilai yang Terkandung dalam cerpen :
1)    Nilai sosial
2)    Nilai hukum
3)    Nilai ekonomi
4)    Nilai moral
2.     Penggunaan bahasa
Menggunakan bahasa melayu dan bahasa indonesia