haha..

Selasa, 20 Oktober 2015

Perkembangan Sejarah Sastra Melayu di Daerah Kepulauan Riau


DI SUSUN OLEH :
FITRI INDAH YUNITA
NIM : 140388201063

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA 2014
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI



KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt karena berkat rahmat dan hidayahnya, penulis telah mampu menyelesaikan sebuah makalah yang berjudul PERKEMBANGAN SEJARAH SASTRA MELAYU DI DERAH KEPRI  Makalah ini di susun untuk memenuhi salah satu tugas ujian akhir semester. Penulis menyadari bahwa selama penulisan makalah ini penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terimakasih. Makalah ini bukanlah yang sempurna karena masih memiliki banyak kekurangan, baik dalam hasil maupun sistematika dan teknik penulisannya. Oleh sabab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun  demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya semoga makalah ini bisa  memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca.





Tanjung pinang, Desember  2014


Fitri Indah Yunita




BAB I
A.                Latar Belakang
Kawasan yang sekarang di kenal sebagai kepulauan Riau memiliki sejarah panjang dan penting, baik dalam kencah politik, ekonomi dan budaya. Khususnya pada masa kerajaan Riau-Lingga, tak syak lagi kawasan ini berkembang menjadi salah satu pusat ekonomi, terutama berbasis perairan, selat, dan sejumlah pelabuhan tempat kapal-kapal dagang dari berbagai belahan dunia datang dan pergi. Tidaklah mengherankan kalau kolonialisme melirik kawasan ini, melemahkan kekuatan politiknya, merebutkannya, memisahkan wilayah geografisnya,dan menguasainya dalam waktu yang cukup lama.dan setelah pemerintahan keraajaan Riau Lingga berpusat dipenyengat abad ke 19,sejarah kepulauan riau,tepatnya kerajaan Riau Lingga memasuki babak baru dibidang kebudayaan, yaitu muncul dan berkembangnya tradisi intelektual, yang ditandai dengan lahirnya karya-karya sastra dan ilmu dalam bahsa melayu. Kerajaan Riau-Lingga tidak hanya mengambangkan politik dan ekonomi, melainkan juga sastra dan ilmu sebagai tradisi intelektual, tradisi baru di kawasan ini, dengan  penyengat sebagai pusat utamanya. Sudah sejak abad ke-19 ada hasil-hasil sastra berbahasa Melayu yang tidak ditulis oleh orang-orang yang berasal dari Kepulauan Riau atau Sumatra. Juga bahasa yang dipergunakannya akan sulit disebut sebagai bahasa Melayu yang murni atau bersih. Bahasa Melayu yang dipergunakan oleh para pengarang itu bukanlah bahasa Melayu Tinggi, melainkan bahasa Melayu rendah atau bahasa Melayu pasar.
Sementara itu hasil-hasil sastra Melayu yang ditulis dalam bahasa Melayu Tinggi juga bukan main banyaknya.Kesusastraan Melayu termasuk kesusastraan yang kaya di Kepulauan Nusantara. Banyak hikayat-hikayat, syair-syair, pantun-pantun, dan karya-karya sastra lain yang indah-indah dan usianya sudah berabad-abad. Hikayat si Miskin, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Indra Bangsawan, Hikayat Amir Hamzah, Syair Bidasari, Syair Ken Tambuhan, dan Sejarah Melayu ialah beberapa di antara karya-karya sastra klasik Melayu.
Pengarang-pengarangnya pun tidak sedikit, terutama berasal dari lingkungan ulama dan kesultanan di Kepulauan Riau. Di antara yang paling termashur ialah Raja Ali Haji, Nurudin Ar-Raniri, Tun Sri Lanang, Hamzah Fansuri, Abdulah bin Abdulkadir Munsyi. Abdulah terkenal karena usaha-usahanya memperbaharui sastra Melayu. Yang dikisahkannya bukanklagi fantasi tentang raja-raja dan putrera-puteri yag cantik, melainkan kehidupan sehari-hari. Ia hidup pada paroh pertama abad ke-19 dan menghasilkan karya-karya yang sekarang telah menajdi klasik; antara lain Syair Singapura Terbakar (1830), Kisah Pelayaran Abdulah dari Singapura ke Kelantang (1838), Hikayat ABdulah bin abdullkadir Munsyi (1894), dan kIsah Pelayaran abdulah ke Negri Jiddah (1849).
Perbedaan bangsa yang menjajah menimbulkan perbedaan-perbedaan pula dalam pertumbuhan kebudyaan, cita-cita politik dan pola pikir suku-suku bangsa yang ada di wilayah Nusantara. Meskipun demikian, penduduk wilayah-wilayah yang terangkum dalam jajahan suatu bangsa penjajah merasakan nasib dan penderitaan yang sama, sehingga perhubungan antara penduduk daerah yang semula disebut "Nederlandsch Indie" (Hindia Belanda) semakin erat. Persaan tak puas karena menjadi hamba di tanah air sendiri, menyebabkan timbulnya perlawanan berupa pemberontakan bersenjata di berbagai daerah. Memang mula-mula perlawanan-perlawanan itu bersifat sporadis, terpecah-pecah dan merupakan perlawanan suatu suku bangsa melawan orang asing. Namun saat itu yang dianggap orang "asing" itu bukan hanya kulit putih, meliankan juga semua suku bangsa lain yang berasall dari Nusanrtara juga. Hal itu memudahkan Belanda untuk mengadu domba dan politik devide et impera efektif sekali untuk mellumpuhkan perlawanan orang bumi putra terhadap penjajahan Belanda.

BAB II
 SASTRA MELAYU MELAYU DI DAERAH KEPULAUAN RIAU
A.                Sejarah Sastra Melayu
Sudah sejak abad ke-19 ada hasil-hasil sastra berbahasa Melayu yang tidak ditulis oleh orang-orang yang berasal dari Kepulauan Riau atau Sumatra. Juga bahasa yang dipergunakannya akan sulit disebut sebagai bahasa Melayu yang murni atau bersih. Bahasa Melayu yang dipergunakan oleh para pengarang itu bukanlah bahasa Melayu Tinggi, melainkan bahasa Melayu rendah atau bahasa Melayu pasar.
Sementara itu hasil-hasil sastra Melayu yang ditulis dalam bahasa Melayu Tinggi juga bukan main banyaknya.Kesusastraan Melayu termasuk kesusastraan yang kaya di Kepulauan Nusantara. Banyak hikayat-hikayat, syair-syair, pantun-pantun, dan karya-karya sastra lain yang indah-indah dan usianya sudah berabad-abad. Hikayat si Miskin, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Indra Bangsawan, Hikayat Amir Hamzah, Syair Bidasari, Syair Ken Tambuhan, dan Sejarah Melayu ialah beberapa di antara karya-karya sastra klasik Melayu.
Pengarang-pengarangnya pun tidak sedikit, terutama berasal dari lingkungan ulama dan kesultanan di Kepulauan Riau. Di antara yang paling termashur ialah Raja Ali Haji, Nurudin Ar-Raniri, Tun Sri Lanang, Hamzah Fansuri, Abdulah bin Abdulkadir Munsyi. Abdulah terkenal karena usaha-usahanya memperbaharui sastra Melayu. Yang dikisahkannya bukanklagi fantasi tentang raja-raja dan putrera-puteri yag cantik, melainkan kehidupan sehari-hari. Ia hidup pada paroh pertama abad ke-19 dan menghasilkan karya-karya yang sekarang telah menajdi klasik; antara lain Syair Singapura Terbakar (1830), Kisah Pelayaran Abdulah dari Singapura ke Kelantang (1838), Hikayat ABdulah bin abdullkadir Munsyi (1894), dan kIsah Pelayaran abdulah ke Negri Jiddah (1849). Perbedaan bangsa yang menjajah menimbulkan perbedaan-perbedaan pula dalam pertumbuhan kebudyaan, cita-cita politik dan pola pikir suku-suku bangsa yang ada di wilayah Nusantara. Meskipun demikian, penduduk wilayah-wilayah yang terangkum dalam jajahan suatu bangsa penjajah merasakan nasib dan penderitaan yang sama, sehingga perhubungan antara penduduk daerah yang semula disebut "Nederlandsch Indie" (Hindia Belanda) semakin erat. Persaan tak puas karena menjadi hamba di tanah air sendiri, menyebabkan timbulnya perlawanan berupa pemberontakan bersenjata di berbagai daerah. Memang mula-mula perlawanan-perlawanan itu bersifat sporadis, terpecah-pecah dan merupakan perlawanan suatu suku bangsa melawan orang asing. Namun saat itu yang dianggap orang "asing" itu bukan hanya kulit putih, meliankan juga semua suku bangsa lain yang berasall dari Nusanrtara juga. Hal itu memudahkan Belanda untuk mengadu domba dan politik devide et impera efektif sekali untuk mellumpuhkan perlawanan orang bumi putra terhadap penjajahan Belanda. Tapi, pada awal abad ke-20 mulailah para pemimpin dan pejuang kemerdekaan kita sadar akan kelemahan dirinya dan akan kekuatan lawannya. Maka berasal dari perasaan senasib sepenanggungan karena sama-sama hidup di bawah cengkraman penjajah yang satu, tumbuhlah kesadaran nasional. Api nsionalisme itu menghilangkan perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh karena perbedaan sejarah, lingkungan kebudyaan, bahasa, adat-istiadat, temperamen dan watak. Dalam menghadapi musuh bersama yang satu, yang diperhitungkan bukan perbedaan di antara suku-suku bangsa itu, melainkan persamaan-persamaannya. Kesadaran itulah yang kemudian pada tahun 1928 dirumuskan dalam sebuah sumpah bersama yang sekarang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda.


B.                 Tokoh Sastrawan Di Daerah Kepulauan Riau
a)      Gelombang pertama pengarang di kepulauan Riau
Sejak abad ke-19, tanjung pinang tidak hanya berkembang sebagai kota politik dan ekonomi. Lebih dari itu ia telah berkembang juga sebagai kota budaya. Hal itu ditandai dengan munculnya tradisi intelektual, dengan sejumlah cendekiawan yang produktif menulis, dikenal sebagai pujangga. Di sini lahir Rusydiyahkelab, sebuah perhimpunan cendekiawan, tempat para intelektual mendiskusikan berbagai masalah keilmuan dan melakukan penelitian. Disini lahir pula penerbit resmi yang mempublikasikan karya-karya para pujangga. Ini merupakan babak baru sejarah Tanjungpinang. Tokoh yang merintis tradisi kepengarangan di Tanjungpinang adalah Raja Ahmad bin Raja Haji Fi Sabililah.
Setelah itu lahirlah pujangga-pujangga kenamaan, dari Raja Ali Haji di pertengahan abad ke-19 sampai Aisyah Sulaiman di awal abad ke-20. Mereka adalah gelombang pertama pengarang tanjung pinang, yang memberikan roh baru pada dunia Melayu-Riau, bahkan dunia Melayu secara umum.
1.                  RAJA AHMAD
Raja Ahmad ibni raja haji bin daeng celak lahir pada bulan Rajab 1193 H (1779) di istana kotapiring pulau Biram Dewa Riau. Ayahnya, raja haji ibni daeng Celak, adalah yang dipertuan muda Riau IV yang memrintah mulai bulan Desember 1778 sampai beliau wafat sebagai syahid fisabilillah dalam pertempuaran melawan VOC di perairan teluk Ketapang Malaka pada 18 Juni 1784. Ayahnya inilah yang dianugrahi pemerintah Indonesia gelar Pahlawan Nasional.
Raja Ahmad Engku Haji Tua adalah pembuka jalan ke sadaran bahwa harkat dan martabat seseorang buka lagi bergantuung kepada keturunan dan “darah” yang mengalir ditubuh, melainkan pada keluasan dan kedalaman ilmu yang dimiliki. Kesedaran itu beliau tanamkan kepada putra-putrinya, dengan menggesa mereka belajar dan menyebarkan ilmu melalui tulisan-tulisan. Selain Raja Ali Haji, puterinya yang bernama Raja Saleha juga digenal sebagai penulis, demikian pula puteranya yang lain, Raja Daud. Arus kesadaran tersebut selanjutnya mengalir ke generasi cucu-cucu dan cicit-cicitnya. Beliau di anggap sebagai tokoh utama yang menjabatani transformasi peran sejarah Riau di selat Malaka khususnya, di alam Melayu pada umumnya, dari pusat kekuasaan politik dan ekonomi abad ke-18 kepusat kekuasaan kalam(bahasa dan kebudayaan atau kecendekiawanan) abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Sebelum Syair Raksi, Raja Ahmad telah menulis Syair Kisah Engku Puteri (1831), yang melukiskan pelayaran kakaknya, Enngku Puteeri Raja Hamidah, ke Lingga untuk menjenguk saudaranya yang waktu itu sakit. Teks ini di tulis dalam pola laporan perjalanan yang disyairkan. Beliau juga dikatakan menulis syair perang johor (1843/1844)  yang membentangkan fragmen-fragmen peperangan antara Johor dengan Aceh pada abad ke-17, peperangan antara Malaka dengan Belanda pada tahun 1640, dan kisah perjalanan utusan Johor ke Patani. Beliau sendiri dianggap sebagai penulis awal kitab sejarah Tuhfat al-Nafis, yang kemudian di perluas dan di perdalam oleh puteranya, Raja Ali Haji.

Syair Raksi  sendiri beliau tulis pada tahun 1841. Fasal pertama syair ini menggambarkan cara untuk meneroka keserasian perkawinan sepasang laki-laki dan perempuan dengan menghitung jumlah angka perkalian huruf-huruf pada nama laki-laki dan perempuan itu. Kemudian masing-masing di bagi Sembilan. Sis pembagian itu di perbandingkan. Lalu pasangan-pasangan angka perbandingan itu dijelaskan serasi atau tidaknya. Bagian kedua, mengenai “syara” hari bulan”, yaitu hari-hari baik dan buruk dalam sebulan untuk melakukan pekerjaan tertentu. Bagian ketiga berisikan nasihat menuntut ilmu. Bagian keempat, keempat, tentang kesusahan hidup orang yang berhutang. Bagian kelima, keterpujian hidup orang yang tidak berhutang dan tidak berdusta. Sedangkan bagian keenam berisi tunjuk-ajar kepada seseorang bila hendak berjumpa dengan orang lain.
Raja Ahmad Engku Haji Tua diperkirakan wafat pada tahun 1878, dalam usia sekitar seratus tahun. Makamnya berada di samping makam anaknya, Raja Ali Haji di kompleks makam Engku Puteri Raja Hamidah di pulau penyengat.
2.                  RAJA ALI HAJI
Raja Ali Haji (RAH) dilahirkan di Pulau Penyengat (sekarang masuk wilayah Kepulauan Riau, Indonesia) pada tahun 1808 dari ayah bernama Raja Ahmad (bergelar Engku Haji Tua) dan seorang ibu bernama Encik Hamidah binti Panglima Malik Selangor. Raja Ali Haji adalah cucu dari Raja Haji Fisabilillah Yang Dipertuan IV dari Kerajaan Riau-Lingga dan merupakan keturunan bangsawan Bugis. Raja Ali Haji memiliki beberapa saudara laki-laki dan perempuan dari ayah yang sama, yaitu Raja Haji Daud (sulung), Raja Endut alias Raja Umar, Raja Salehah, Raja Cik, Raja Aisyah, Raja Abdullah, Raja Ishak, Raja Muhammad, Raja Abu Bakar, dan Raja Siti (bungsu). Keluarga Raja Ahmad ini termasuk orang-orang yang gemar menulis. Sebagai sastrawan, Raja Ahmad pernah menghasilkan setidaknya tiga buah karya yaitu  Syair Engku Putri, Syair Perang Johor dan Syair Raksi. Darah sastrawan yang ada pada diri Raja Ahmad tersebut tumbuh dan berkembang lebih besar pada diri Raja Ali Haji.
Raja Ali Haji adalah pengarang Melayu abad ke-19 yang termasyhur, lahir di pulau Penyengat Inderasakti pada tahun 1809, dari perkawinan Raja Ahmad ibni Raja Haji Fi Sabilillah dengan seorang puteri Selangor bernama Hamidah. Beliau wafat di pulau yang sama, di perkirakan pada tahun 1873. Makamnnya berada dikomplek makam Engku Puteri Raja Hamidah pulau Penyengat, berdampingan dengan makam ayahnya. Pada tahun 2006, pemerintah Republik Indonesia menganugrahinya gelar pahlawan Nasional karena jasa-jasanya di bidang bahasa dan kebudayaan.
Sejak kanak-kanak, Raja Ali Haji mendapat pendidikan di lingkungan istana kerajaan Penyengat dari para ulama yang datang dari berbagai negeri untuk mengajarkan Islam. Untuk menambah wawasan, Raja Ali Haji seringkali mengikuti perjalanan ayahnya ke berbagai daerah untuk berdagang, termasuk perjalanan pergi haji. Tahun 1822 ia bersama sang ayah pergi ke Betawi menjumpai Gubernur Jendral Baron van der Capellen. Saat itu, ia sempat menonton “Komidi Holanda” di “Schouwbrurg” (sekarang Gedung Kesenian Jakarta). Tahun 1826, bersama sang ayah ia berniaga ke pulau Jawa dan sempat bertemu dengan Residen Jepara D.W. Punket van Haak. Sekitar tahun 1827, Raja Ali Haji bersama ayahnya menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kemudian tinggal di sana selama setahun untuk memperluas pengetahuan agama. Di Mekah, ia sempat belajar beberapa bidang keislaman dan ilmu bahasa Arab pada Syeikh Daud bin Abdullah Al-Fatani.

Berbekal pengembaraan intelektual dan pengalaman yang telah dilaluinya, Raja Ali Haji tumbuh menjadi pemuda berwawasan luas. Meskipun usianya masih muda, ia sudah dikenal sebagai seorang ulama yang seringkali diminta fatwanya oleh pihak kerajaan.  Pada tahun 1845, Raja Ali bin Raja Jafar diangkat menjadi Yamtuan Muda, dan Raja Ali Haji dikukuhkan sebagai penasehat keagamaan negara. Pada tahun 1858, Yang Dipertuan Muda Riau IX Raja Abdullah Mursyid mangkat, maka Raja Ali Haji diberi amanat untuk mengambil alih segala urusan hukum yaitu semua urusan yang menyangkut jurisprudensi Islam. Meskipun ia memiliki posisi penting di pemerintahan Kerajaan Riau-Lingga, hal itu tak membuat produktivitasnya dalam menulis menjadi surut.  Begitu piawainya ia menulis dan merangkai kata-kata, sehingga hasil karyanya meliputi berbagai bidang bahasan, seperti keagamaan, kesusastraan Melayu, politik, sejarah, filsafat, dan juga hukum. Lewat karya-karya tersebut, Raja Ali di bidang pembinaan umat serta penerbitan buku-buku Islami.
Sebagai cendekiawan, Raja Ali Haji memiliki bakat yang beragam, sebagaimana terlihat dari keanekaan topikkarangan yang beliau wariskan dan peran kesejahtraan yang dimainkannya dalam lingkungan karajaan Riau-Lingga samasa. Beliau menulis gurindam dan sejumlah syair, kitab-kitab kebahasaan (tatabahasa dan kamus), kepemimpinan, sejarah, yang semuanya dianggap memiliki keunggulan-keunggulan khusus dalam sejarah tradisi alam Melayu. Haji membuktikan dirinya tidak hanya sekadar sejarawan, tapi juga seorang ulama, pujangga, dan sastrawan yang memiliki komitmen memelihara nilai keislaman serta rasa tanggung jawab terhadap masyarakat. Ia dikenal sebagai pencatat pertama dasar-dasar tata bahasa Melayu lewat karyanya Pengetahuan Bahasa yang menjadi standar bahasa Melayu yang kemudian dalam Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928 ditetapkan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia. Ia juga dikenal sebagai sejarawan lewat karya monumentalnya berjudul Tuhfat al-Nafis, dan sebagai sastrawan lewat karyanya Gurindam Duabelas. Raja Ali Haji wafat pada tahun 1873 dan dimakamkan di Pulau Penyengat, tepatnya di kompleks pemakaman Engku Putri Raja Hamida. Untuk melestarikan karya-karyanya, pada awal tahun 1890, segenap sanak keluarganya mendirikan perkumpulan bernama Rusdyiah Club yang bergerak
Sebagai sosok ulama dan kalangan elit kerajaan, pemikiran Raja Ali Haji lebih banyak berkisar pada upaya restorasi kerajaan dan tradisi Melayu pada masa itu. Pemikiran tersebut, sebagian besar tertuang dalam berbagai karyanya. Dalam Tuhfat al-Nafis, disebutkan bahwa suasana Melayu telah memasuki masa modern dan kolonialisme, dimana masyarakat Melayu tengah menghadapi perubahan-perubahan di bidang sosial dan budaya. Maka Raja Ali Haji tampil sebagai seorang askar kerajaan untuk menjaga keberlangsungan tradisi dan budaya Melayu. Pemikiran Raja Ali Haji dinyatakan melalui himbauan moral yang ditujukan kepada elit kerajaan yang berkuasa, agar melaksanakan kekuasaan mereka berdasarkan nilai dan norma islami.






Dalam Tsamarat al-Muhimmah, Raja Ali Haji juga menegaskan bahwa prasyarat untuk menjadi seorang raja dan elit kekuasaan, yaitu: harus beriman, cakap, adil, bijaksana, serta syarat-syarat lain yang menjadi kriteria konsep penguasa ideal. Baginya, kerajaan merupakan sistem politik yang tepat untuk membangun masyarakat Melayu. Oleh karena itu, kedudukan raja sangat penting dalam pembentukan kehidupan sosial-keagamaan kerajaan dan masyarakat. Bahkan pada salah satu pembahasannya, ia mengetengahkan kritik pedas terhadap perilaku politik raja-raja Melayu yang dinilai telah menyimpang dari nilai-nilai Islam. Dalam hal ini, ia menunjuk pada konflik politik antara Sultan Mahmud dan Raja Indra Bungsu, yang berujung pada terjadinya kerusuhan pada tahun 1787. Menurut Raja Ali Haji, kasus ini merupakan bukti bahwa ajaran Islam, khususnya pengendalian hawa nafsu, telah terabaikan dalam kehidupan politik raja-raja Melayu. Dalam pemikiran-pemikiran yang dilontarkan, Raja Ali Haji berusaha membangun kembali supremasi politik kerajaan Melayu sebagai satu bangunan sosial-politik bagi masyarakat Melayu.
Pemikiran Raja Ali Haji tersebut banyak berpengaruh pada masyarakat Melayu, khususnya para seniman dan budayawan di daerah Sumatera, Jawa, Malaysia, Singapura, Brunei, bahkan sampai ke Belanda.
a)      Karya-karya
Sebagai sosok ulama, pujangga, sejarawan dan budayawan, Raja Ali Haji telah banyak melahirkan karya berupa naskah dan cetakan dalam huruf Arab, antara lain:
·         Bustan al-Katibin Li al-Subyan al-Mutaallimin, Yayasan Kebudayaan Indera Sakti Pulau Penyengat, (tahun 1983)
·         Kitab Pengetahuan Bahasa, diterbitkan oleh Al-Mathba at Al-Ahmadiyah/Al-Ahmadiah Press, Singapura (tahun 1345 AH).
·         Syiar Hoekoem Nikah,
·         Syair Siti Shianah Shahib al-Ulum wa al-Amanah, Yayasan Kebudayaan Indera Sakti Pulau Penyengat (tahun 1983).
·         Gurindam Dua Belas dan terjemahannya dalam bahasa Belanda oleh E. Netscher De Twaalf Spreukgedichten, diterbitkan oleh Tijdschrift van het Bataviaasch Genootschap II, Batavia (tahun 1854).
·         Muqaddimah Fi Intizam al-Wazaif al-Mulk, diterbitkan oleh Pejabat Kerajaan Lingga (tahun 1304 AH).
·         Tsamarat al-Muhimmah, diterbitkan oleh Pejabat Kerajaan Lingga (tahun 1304 AH).
·         Sinar Gemala Mestika Alam, diterbitkan oleh Mathba at Al-Riauwiyah, Pulau Penyengat (tahun 1313 AH).
·         Silsilah Melayu dan Bugis, diterbitkan oleh Al-Imam, Singapura (tahun 1911).
·         Suluh Pegawai, diterbitkan oleh Mathba at Al-Ahmadiah, Singapura (tahun 1342 AH).
·         Siti Shianah, diterbitkan oleh Mahtha at Al-Ahmadiah/Al-Ahmadiah Press, Singapura (tahun 1923).
·         Tuhfat Al-Nafis, diterjemahkan oleh R.O Winstedt dan diterbitkan oleh The Malayan Branch of Royal Asiatic Society, Singapura (tahun 1932).
·         Syair Abdul Muluk, Singapura.


Selain karya-karya tersebut di atas, Raja Ali Haji juga memiliki karya yang dicetak dalam   huruf Latin, antara lain:
·         E. Netscher, De twaalf spreukgedichten; Een Maleisch gedicht door Radja Ali Hasji van Riouw, uitgegeven en van de vertaling en aanteekeningen voorzien, Tijdschbrift voor indische Taal-, Land-en Volkenkunde 2 : 11-32 (tahun 1854).
·         Bustanu al-Katibin, diterjemahkan oleh H. Von de Wall, Boekbeoordeling door H von de Wall: Kitab Perkeboenan bagi kanak-kanak jang hendak menoentoet berladjar akan dija, Tjidschrift voor Indische Taal-, Landen Volekenkunde (tahun 1870).
·         Tuhfat Al-Nafis, diterjemahkan oleh Encik Munir bin Ali, Malaysian Publication Ltd., Singapura (tahun 1965).
·         The Precious Gift (Tuhfat al-Nafis), diterjemahkan oleh Virginia Matheson & Barbara Watson Andaya, Oxford University Press, Kuala Lumpur (tahun 1982).
·         Tuhfat Al-Nafis: Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji, diterjemahkan oleh Virginia Matheson, Fajar Bakti, Petaling Jaya (tahun 1982).
·         Gurindam Dua Belas, dalam Abdul Hadi W.M., Sastra Sufi; Sebuah Antologi, Pustaka Firdaus, Jakarta (tahun 1985).
·         Kitab Pengetahuan Bahasa, diterjemahkan oleh R. Hamzah Yunus, Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pekanbaru (tahun 198-1987).
·         Syair Abdul Muluk, Balai Poestaka, Batavia, (tanpa tahun).
·         Syair Abdul Muluk, diterjemahkan oleh Siti Syamsiar, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pekanbaru (tahun 1988-1989).
·         Tuhfat al-Nafis, Virginia Matheson Hooker, Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur (tahun 1991).
·         Syair Suluh Pegawai, Al-Mathba ah al-Ahmadiyah/al-Ahmadiah Press, Singapura (17 Rabiul Awal 1342 AH/1923).
·         Penyair dan Tuan Puteri, dalam Berkala Sastra Menyimak, terbitan ketiga 28 April – 28 Juli, Pekanbaru (tahun 1993).
b)      Penghargaan
Raja Ali Haji dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional, atas karyanya Kitab Pedoman Bahasa yang ditetapkan sebagai Bahasa Nasional, Bahasa Indonesia, dari Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (10 November 2004).





3.                 HAJI  IBRAHIM
Haji Ibrahim atau datuk kaya muda, adalah pengarang Melayu yang hidup sezaman dengan Raja Ali Haji. Ia adalah putera datuk syahbandar Abdullah , seorang keturunan bugis dari kalangan rakyat biasa (bukan bangsawan) yang berhasil masuk dalam kelompok elit kekuasaan Riau-Lingga sebagai syahbandar. Setelah kekuasaan atas pelabuhan-pelabuhan di Riau berpindah ketangan pemerintahan Hindia-Belanda, Datuk syahbandar Abdullah ditugaskan oleh yang dipertuan muda Riau-Lingga sebagai panglima dalam.
Tuhfat al-Nafis pertama kali menyebutkan namanya sebagai seorang yang ikut dalam pelayaran delegasi Riau ke trengganu  untuk menemui sultan Abdul Rahman, pada tahun 1823, pada waktu itu namanya masih disebut Encik Ibrahim, dan diperkirakan berusia belasan tahun, hamper sebaya dengan Raja Ali Haji.
Encik Ibrahim menunaikan fardhu haji pada tahun 1830-an, dan sejak itu gelas haji konsisten dicantumkan olehnya maupun orang lain ketika menulis namanya. Sepulang dari mekkah, pada tahun-tahun 1830-an itu, Haji Ibrahim banyak terlibat dengan urusan-urusan politik, menjadi utusan kerajaan Riau-Lingga kadang-kadang bersama ayahnya, kadang-kadang tidak. Pada tahun-tahun 1850-an, Haji Ibrahim menjadi jurutulis pribadi Yang Di Pertuan Muda, dan dari jabatannya itulah beliau mendapat gelar kehormatan : orang kaya muda; gelar yang selalu pula melekat setelah nama dirinya. Walaupu sudah bergelar orang (Datuk) kaya muda, kedudukan sosial Haji Ibrahim tetap saja berada di bawah kedudukan sosial para bangsawan yang bergelar ”Raja”, meskipun tidak serendah orang kebanyakan.
Pada tahun 1867, Raja Ali Haji dan Haji Ibrahim (bersama anaknya Abdullah) bekerja sama menyalin sekaligus menyunting naskah-naskah, seperti Hikayat kurais dan Hikayat Golam. Belia juga menulis karyanya sendiri, Cakap-calap Rampai-rampai Bahasa Melayu Johor (jilid I di terbitkan oleh percetakan Gubernemen di Batavia pada tahun 1868; jilid II,terbit di percetakan yang sama pada tahun  1872). Kedua jilid buku ini sebagian besar berkisah tentang kehidupan orang-orang biasa dan kepercayaannya, dalam bentuk percakapan dua atau lebih tokoh. Misalnya, tentang bermain gasing, mengambil kuli, percakapan dua orang penjudi, perniagaan, percakapan tukang kayu, percakapan tukang, orang gila, tukang perahu, dan lain-lain. Karyanya yang lain, Pantu-pantun Melayu (terbitan W. Bruining, Batavia, 1877). Buku ini merupakan dokumen pertama yang secara khusus merayakan seni lisan pantun ke dalam bentuk tulis. Sebelumnya, beberapa pantun memang sudah memasuki jaring tradisi tuli, tetapi sifatnya hanyalah “perencah” bagi retorika naratif kesejarahan (seperti dalam sulalatus Salathin, dan  Hikayat Hang Tuah) dan sejumlah syair serta hikayat-hikayat Melayua. Beda dengan perlakuan  Haji Ibrahim: bukunya ini memang seutuhnya menghidangkan pawai pantun,, dan membiarkan pantun-pantun itu sendiri memperdengarkan suaranya kepada pembaca. Haji Ibrahim juga mewariskan dua buah syair, Syair Raja Damsyik (1864) dan Syair Sidi Ibrahim bin Khasib (1865). Syair Raja Damsyik digubah oleh Haji Ibrahim berdasarkan Hikayat Damsyik (Prosa). Perubahan dari naratif –prosaik ke naratif –puitik ini adalah bagian dari keunggulan para penulis penyengat abad ke-19. Pembaca yang sempat membandingkan kedua karya ini akan segera mengenali sejumlah perbedaan pentinng antara kedua teks tersebut, selain perbedaan bentuknya. Karya-karya yang diwariskannya pun mempertegas kedudukan haji ibrahaim sebagai penulis , pengarang, atau cendekiawan yang memiliki “sidik-jari” (kekhasan)-nya sendiri. Beliau, bersama Raja Ali Haji (serta pengarang yang semasa dengannya), dengan demikian sekumpulan orang yang pada zamannya telah berkolaborasi memainkan orkestrasi kecendekiawanan yang berjatidiri.
4.                  RAJA DAUD
Raja Daud atau Raja Haji Daud adalah adik seayah Raja Ali Haji, lahir dari perkawinan Raja Ahmad ibni Raja Haji dengan Encik Fatimah. Beliau dikenal sebagai tabib terkemuka di kerajaan Riau-Lingga, dan dalam bidang perobatan ini beliau mewariskan buku berjudul Asal Ilmu Tabib (alihaksaranya, lihat UU Hamidy dkk, Naskah kuno Daerah Riau, IDKD Daerah Riau, 1982/1983). Sebagaimana dinyatakan Raja Ali Haji dalam suratnya bertarikh 10 syawal 1286 H (13 Januari 1870), Raja Daud sebenarnya juga mewariskan sebuah tulisan tentang hisabgerhana bulan namun tidak diketahui apa bentuk dan tulisannya itu. Selain buku dan tulisan itu, pada tahun 1870 Raja Daud menulis sebuah syair tentang syarif Hasyim ibni Said Muhammad Zain al-Qudsi. Karena ibunya, Syarifah Halimah, adalah cucu Daeng Celak, maka syarif Hasyim masih tergolong kerabat dekat bangsawan penyengat juga. Pada tahun-tahun 1850-an Syarif Hasyim pindah ke borneo (Kalimantan). Di Kalimantan, ia bekerja pada pemerintah Hindia-Belanda, dan ikut dalam perang Banjarmasin pada tahun 1850-1863. Keterlibatannya dalam perang itu direkamnya dalm catatan, dan berdasarkan catatan harian itulah Raja Daud menuliskan syair yang membawa namanya ke dalam senarai nama-nama pengarang sastra melayu Riau-Lingga abad ke-19. Syair yang ditulis Raja Daud ini diidentifikasi dalam beberapa judul; ada yang menyebutkannya Syair Peperangan Syarif Hasyim (Hasan yunus, 2002:88) ada pula yang menuliskannya dalam judul syair pangeran syarif hasyim al-Qudsi (Arena Wati, 1989). Sedangkan saudaranya, Raja Ali Haji, menyebutkan Syair Siarah Said Qasim.
Pengarang/penulis/penyalin dalam tradisi sastra istana Melayu, bagaimanapun juga, masih tetap bisa dianggap sebagai individu pencipta, dalam arti”mengadakan” yang “tiada”, walaupun keberadaan–keberadaan tekstual itu lebih ditentukan oleh kehendak orang lain. Namun, dalam konteks penulisan Syair Peperangan Syarif Hasyim, Raja Daud berbeda dengan para pendahulunya itu. Raja Daud besama saudara-saudaranya adalah orang-orang yang lahir dan di besarkan dalam suasana yang jauh berbeda dengan lingkungan istana Melayu abad-abad sebelumnya. Agama islam dan bentuk serta tujuan pendidikan yang dibawanya, bersama kanyataan status dan kekuasaan politik kerajaan Riau-Lingga yang merosot, telah membawa kesadaran baru pada anak-anak penyengat semasa tentang kemuliaan: dari ranah komunal (kebangsawanan darah) ke ranah individual (kebangsawanan ilmu). Mengarang/menulis/menyalin mestinya bukan lagi merupakan penunaiantitah-perintah, tetapi didorong oleh kehendak pribadi dan hasilnya dilihat sebagai prestasi. Oleh Karena itu, penulis Syair Peperanagn syarif Hasyim yang didasarkan catatan pribadi tokoh yang dikisahkannya, mungkin dapat dijadikan satu lagi contoh yang menegaskan tanda-tanda bahwa menyair di masa itu sudah berkembang menjadi sebuah keterampilan yang mirip dengan pertukangan.
Tugas kepengarangan secara tersirat ditunjukkan oleh Raja Daud melalui penulisan Syair Peperanagn syarif Hasyim pun bukanlah berada di dalam kehendak dan peroalan “mengadakan” yang “tiada”, tetapi mengalih-bentuk sebuah kenyataan tekstual yang sudah ada. Dan memang, alih bentuk teks dari prosa ke syair seperti itu cukup biasa dilakukan para penulis penyangat. Haji Ibrahim, yang kurang-lebih hidup sezaman dengan Raja Daud pun,  mengalih bentuk prosa Hikayat Damsyik ke dalam Syair Raja Damsyik (meski kalau dibandingkan, dalam banyak hal kedua teks itu memperlihatkan perbedaan-perbedaan yang penting.)

5.                  RAJA HASAN
Raja Hasan adalah putra Raja Ali Haji  (dari istri keduanya , Halimah binti Raja Jakfar Yang Di Pertuan Muda Riau VI). Pada tahun 1858, Raja Hasan menikah dengan Raja Maimunah binti Raja Haji Abdullah Yang Dipertuan Muda Riau IX. Beberapa puteranya adalah penerus garis kecendekiawanan yang dipancangkan kakeknya (Raja Ali Haji Ibni Raja Ahmad). Misalnya, Raja Haji Abdullah (Abu Muhammad Adanan) ibni Raja Hasan, hakim kerajaan yang juga pengarang Syair Seribu Satu Hari, Syair Syahinsyah, Pembuka lidah dengan teladan yang muda; atau, Raja Khalid Hitam ibni raja hasan salah satu penggerak perkumpulan cendekiawan Rusyidiah Kelab, yang mengarang Syair perjalanan Sultan Lingga dan yang dipertuan muda Riau ke Singapura dan Tsamarat al-mutahlub fi Anwar-I al-Qulub; Raja Ahmad ibni Hasan, tabib kerajaan, mengarang Syair Nasihat Pengajaran Memelihara Diri, Syair Raksi Macam Baru, Syair Dalail al-Ihsan, dan lain-lain; serta Raja Umar bin Raja Hasan, yang menarang buku Ibu Di Dalam Rumah Tangga.
Selain beberapa puteranya yang cemerlang di zamannya, Raja Hasan mewariskan kepada kita sebuah syair yang berjudul Syair Burung. Ada beberapa naskan yang menggunakan judul ini, dua diantaranya terdapat diperpustakaan Universitas Leiden, dengan nomor koleksi KL. (Klinkert) 171 dan KL. 177. Padea naskah KL. 171 ada catatan: opgesteld door Radja Hasan zoon van Radja Ali Hadji van Penjingat in 1859 (di karang oleh Raja Hasan anak Raja Ali Haji dari penyengat, pada tahun 1859). Catatan yang dimuat dalam buku Supplement-Catalogus der Maleischen en Minangkabausche  handschrifte (Van Ronkel 1921:90) inilah rujukan awal yang umum digunakan untuk menengaskan bahwa syair itu ditulis oleh Raja Hasan.
Syair Burung berisi kisahan pembicaraan burung-burung tentang hukum islam dalam bentuk Tanya-jawab. Lebih 25 jenis burung yang terlibat dalam pembicaraan itu (mulai dari burung Bayan samapai burung Tekukur), dan yang paling bijak adalah burung Nuri sebagai symbol nur Muhammad. Abu Hassan Sham (dalam bukunya, Syair-syair Melayu Riau, halaman 137-139) menyatakan syair ini dipengaruhi oleh Mantiq al-Tayr Farid al-Din ‘Attar dan syair si burung pingai Hamzah Fansuri yang juga menggunakan tokoh-tokoh burung untuk mem-bentangkan pengembaraan sufistik mereka dalam mencari singgahan tuhan. Publikasi tertua syair ini dalam bentuk tercetak, mungkin adalah yang dilakukan pada awal tahun 1869. Keterangan tentang itu terdapat dalam surat Raja Ali Haji kepada Von de Wall, bertarikh 26 Zulkaidah 1285 (10 Maret 1869): “Syahdan adalah kita menyatakan kepada paduka sahabat kita, ini ada satu Syair Burung di cetak oleh saudara kita, akan tetapi belum lagi tamat, hanyalah seoparuh sahaja. Namun dokumentercetak itu belum dapat ditelusuri, kareana ketiadaan keterangan lain mengenainya. Kemudian, pada tahun 1978, Jumsari Jusuf dan kawan-kawan menerbitkan alih aksaranya dengan judul “Syair Unggas Beroal-Jawab” dalam buku Antologi Syair Simbolik dalam Sastra Indonesia Lama (Jakarta: dipdikbud RI, Bagian IV, halaman 101-125). Naskah yang dialihaksara adalah naskah bebas koleksi Von de Wall, bernomor katalog W 268b, yang kini disimpan di perustakaann Nasional RI. Menurut suatu sumber, Raja Hasan ibni Raja Ali Haji wafat di Mekkah pada tahun 1882.



6.                  KHALID HITAM
Nama asli dan lengkapnya Raja Khalid bin Raja Hasan. Walaupu begitu, beliau juga dikenal dengan nama Khalid Hitam. Raja Hasan, ayahndanya, adalah  putera Raja Ali Haji. Dengan demikian, beliau adalah cucunda Raja Ali Haji. Beliau jiga biasa di sapa dengan nama Hitam Khalid, Raja Khalid Hitam Al-Riawi, Raja Khalid Al-hitami, Raja Khalid ibni Raja Hasan Al-Haji ibni Raja Ali Haji, dan Raja Khalid Hitam ibni Raja Haji Hasan. Setakat ini tak dapat dipastikan tarikh kelahiran Khalid Hitam. Hanya beliau dipastikan meninggal di salah satu rumah sakit Tokyo Jepang, pada 11 Maret 1914, dalam misi politik bilateral untuk menyelamatkan negaranya.
Raja Khalid menikah dengan sepupunya, yang juga keteurunan bangsawan kerajaan Riau-Lingga bahkan juga cucunda Raja Ali Haji, Raja Aisyah binti Raja Sulaiman. Istri beliau adalah pengarang ternama yang lebih dikenal sapaan Aisayah Sulaiman. Dengan demikian, kedua orang bersuami-istri itu merupakan pasangan dan keluarga pengarang. Kenyataan itu juga membuktikan bahwa di kerajaan Riau-Lingga profesi pengarang sangat dihormati dan dimuliakan atau pekerjaan yang bergengsi. Itulah sebabnya, banyak kalangan keluarga Diraja Riau-Lingga melibatkan diri kedalam pekerjaan terhormat itu.
Sebagai politis yang sangat menentang pemerintah colonial Belanda, begitu kerajaan Riau-Lingga jatuh ke tangan musuh, Khalid Hitam tak mau lagi tinggal di tanah kelahiranya, palau penyengat inderasakti. Jika tetap ditanah kelahiran, beliau harus mengakui keabsahan pemerintah Hindia-Belanda di tanah tumpah daranya. Raja Khalid tak merelakan dirinya dan keluarganya menanggung aib seperti itu, menjadi anak jajahan di negeri sendiri. Dengan memegang identitas itulah, Raja Khalid bin Raja Hasan berpindah kesingapur bersama keluarganya. Sungapura suatu masa dahulu memang berada di bawah kekuasaan kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang dan pada saat yang sama rajanya tak dimakzulkan walaupun dibawah pemerintahan inggris. Lagi pula, Khalid Hitam memiliki siasat lain yaitu berkunjung ke jepang untuk meminta bantuan menumpaskan penjajahan Belanda melalui Singapura. Malangnya, pada misi terakhirnya, 1914, beliau wafat di negeri orang Jepang.
Sebagai suami, Raja Khalid bin Raja Hasan menjadi inspirasi dan sangat dicintai oleh istrinya, Raja Aisyah Sulaiman, dalam berkarya. Kehidupan rumah tangga mereka disamarkan Aisyah Sulaiman dalam karya-karyanya. Oleh sebab itu, tak heran ada pengamat yang berpendapat bahwa karya Aisyah Sulaiman sesungguhnya biografi yang ditulis secara tersamar dalam bentuk hikayat dan syair serta telah menonjolkan individualitas.  Selain sebagai politikus ulung, Khalid Hitam juga dikenal sebagai seorang pengarang, sama halnya dengan istrinya tercinta. Dalam kapasitasnya sebagai pengarang, beliau diketahui telah mengahasilkan tiga buah karya. Dua diantara karya itu merupakan karya sastra, yaitu (1) Syair Perjalanan Sultan Lingga dan Yang Dipertuan Muda Riau Pergi Ke Singapura dan Syair Peri Keindahan Istana Sultan Johor Yang Amat Elok.  Kedua karya itu diterbitkan oleh Mathba’at al-Riauwiyah, pulau Penyengat Inserasakti. Saru lagi karya beliau adalah Tsamarat al-Mathlub Fi Anwar al-Qulub. Karya yang disebut terakhir itu selesai ditulisnya pada tahun 1896. Dengan memperhatikan karya-karyanya, jelaslah bahwa Khalid Hitam merupakan pengarang di pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20. Beliau terbukti sebagai seorang lagi bangsawan Melayu Riau-Lingga yang menambah rancak dan semaraknya kepengarangan sastra dan aktivitas intelektual di dunia Melayu di kala itu.

7.                  ABU MUHAMMAD ADNAN
Abu Muhammad Adnan bukanlah nama sebanarnya. Itu adalah nama pena beliau. Nama aslinya adalah Raja Haji Abdullah ibni Raja Hasan ibni Raja Ali Haji. Dengan demikian,  Abu Muhammad adnan adalah cucunda Raja Ali Haji dan putra Raja Hasan, yang juga seorang pengarang. Nama Muhammad adnan di gunakanya sebagai nama pena untuk mengenang ananda sulungnya, yang meninggal pada usia yang masih sangat muda. Dia juga dikenal dengan sapaan Engku Haji Lah. Selain sebagai pengarang, abu Muhammad Adnan juga adalah Hakim Mahkamah Kerajaan Riau-Lingga. Tak di ketahui pasti tarikh kelahiran Abu Muhammad Adnan. Adapun wafatnya, dapat dipastikan beliau meninggal pada 1926.
Beliau beristri dua orang, yaitu Salamah binti Ambar dan Khadijah terung. Kedua istri Abu Muhammad Adnan itu juga pengarang. Sebagai seniman, Raja Haji Abdullah tak hanya dikenal sebagai sastrawan. Beliau juga memiliki keahlian dalam bidang seni lukis dan seni patung. Abu Muhammad Adnan merupakan pengarang yang memiliki bacaan yang sangat luas . perpustakaan pribadinya di lengkapi dengan buku-buku yang berbahasa Melayu, Arab, dan Prancis. Beliau juga rajin menulis kalimat-kalimat berhikmah di buku-buku karya asli dan atau terjemahnya. Di antara kalimat yang pernah ditulisnya berbunyi, “Apabila diarahkan dengan jitu, al-khayalan akan merangsang pikiran sehingga hasilnya pun akan menjadi berfaedah, bermanfaat, bermakna.” Dengan demikian, jelaslah bahwa Abu Muhammad Adnan menganggap bahwa imajinasi (khayalan) sangat penting bagi tumbuh dan berkembangnya inovasi dan kreativitas.
Selain menulis karya sastra, asli, dan terjemahan, Abu Muhammad Adnan juga menulis buku pelajaran bahasa Melayu. Di antara bukunya dalam bidang bahasa ialah (1)  Pembuka Lidah Dengan Teladan Umpama Yang Mudah (2) Penolong Bagi Yang Menuntut Akan Pengetahuan Yang Patut, dan (3) Pembukaan Bagi Yang Berkehendak Dengan Huraian Yang pandak. Dalam bidang kesusastraan, karya-karya beliau yang dapat dikitahui adalah hikayat tanah suci (1924), kutipan mutiara, syair syahinsyah (1922), Ghayat al-Manu, dan Seribu Satu Hari (1919).
8.                  RAJA ALI KELANA
Nama dirinya adalah Raja Ali ibni Raja Muhammad Yusuf al-Ahmadi. “kelana” yang sering diletakkan orang pada akhir nama batang-butuhnya merupakan jabatan yang menunjukkan bahwa beliau calon yang di pertuan muda Riau-Lingga. Setelah ayahandanya, yang dipertuan muda riau X  Raja Muhammad Yusuf al-ahmadi berpulang di Lingga pada tahun 1988, Raja Ali Kelana seharusnya dilantik sebagai yang di pertuan muda Riau XI. Namun jabatan tertinggi di hirarki kekuasaan penerintahan kerajaan Riau-Lingga itu tidak sempat ia duduki, karena meningkatnya konflik politik antara kerajaan dengan pemerintahan Hindia-Belanda. Konflik itu berpuncak pada pembubaran kerajaan Riau-Lingga melaluui surat pemakzulan Sultan Abdul Rahman al-Mu’azzamsyah dan Tengku Besar Umar pada 11Februari 1911. Dua tahun setelah pemakzulan itu, 1913, pemerintah Hindia-Belanda membubarkan kerajaan Riau-Lingga.
Raja Ali Kelana adalah salah satu pilar Rusyidah Kelab, sebuah perkumpulan cendekiawan yang didirikan di penyengat pada tahun 1885. Sebagai layaknya perkumpulan cendekiawan modern, Rusyidah kelab menggalakkan kegiatan-kegiatan pendidikan dan kebudayaan, di samping berperan sebagai kelompok penekan untuk mengawal politik kerajaan tetap berada di jalur yang benar.
Teras pemikiran dan perjuangan perkumpulan ini ialah “Melayu-Islami”, yang dicerminkan melalui perlembagaan politik berbentuk kerajaan, beragama islam, beradat-istiadat dan berbahasa Melayu. Untuk  mengawa perwujudan cita-cita itu, sejumlah anggotanya bergerak membangun lembaga-lembaga ekonomi. Raja Ali Kelana sendiri memiliki perusahaan pengolahan batu bata di pulau Batam, yang runtuh pada tahun yang sama dengan pemakzulan Sultan Riau-Lingga, 1911. Idiologi dan gerakan perkumpulan ini memang menjadi ancaman serius terhadap hegemoni Belanda Riau-Lingga.
Kecendekiawanan Raja Ali Kelana tidak lepas dari pendidikan dan lingkungan islam pulau Penyengat yang di bina di masa-masa moyang dan kakeknya telah terbentuk, dan kegiatan kebahasaan serta kebudayaan berkembang subur, menyambut anak-anak negeri sejak lahir, dan menyemaikan benih-benih kecendekiawanan pada mereka pada masa kanak-kanak. Konon, selain di Riau, Raja Ali Kelana juga memperdalam islam dan pengetahuan lain di Mekkah, dibimbing oleh ulama-ulama terkemuka seperti Syakh Ahmad al-Fathani, Sayid Abdullah al-Zawawi, dan lain-lain. Itu dilakukanya ketika singgah di Mekkah, sebelum ke Mesir untuk menjalankanya ketika singgah di Mekkah, sebelum ke Mesir untuk menjalankan misi kerajaan. Selesai menunaikan fardhu haji tahun 1950,             Raja Ali Kelana menerima ba’iat Thariqat Naqusyabandiyah, dan setelah itulah beliau mendapat gelar al-Ahmadi (sama dengan gelar ayahnya). Selain ketimur tengah, Raja Ali Kelana juga mengunjungi Turki Usmaniyah untuk urusan politik kerajaan, pada tahun-tahun 1895 dan 1950. Pada tahun 1913, beliau sekali lagi berkunjung ke turki dalam upaya mencari bantuan untuk memulihkan kembali institusi kerajaan di Riau (yang sudah di bubarkan belanda).
Pada tahun 1899 Raja Ali Kelana menyelesaikan buku berjudul Perhimpunan Pelakat. Buku ini berisikan peraturan-peraturan dan perjanjian-perjanjian antara kerajaan Riau-Lingga dan Hindia-Belanda. Perhimpunan pelakat kemudian dicetak di Mathaba’at al-Riauwiyah, pulau Penyengat. Pada tahun 1900. Pada tahun 1993, budayawan Hasan Junus mengalihaksara dan menyuntingnya, kemudia diterbitkan bersama teks-teks lain oleh proyek IDKD pemda Tk. I Riau, dalam buku yang berjudul pendokumentasi naskah kuno Melayu dan kajian Khusus.
Kegiatan kecendekiawanan Raja Ali Kelana juga ditunjukkan dengan keterlibatannya dalam mendirikan sekolah di Singapur (tahun 1908) bersama Syekh Jalaluddin Tahir al-Azhari, yang kemudian dipindahkan ke Riau (pada tahun  1909) karena kesulitan keuangan. Pada tahun 1910, al-Imam menerbitkan bukunya yang berjudul Kumpulan Ringkasan-Berbetulan Lekas-pada orang yang pantas-dengan pikiran yang lantas. Di dalamnya dihidangkan 31 ringkasan yang terdiri dari 160 pembahasan, diantaranya menyatakan kelebihan akal, berhimpun bersatu dengan pengetahuan, tawarikh raja-raja dulu, dan lain-lain. Ringkasan yang ke-30 dan ke-31 ditampilkan dalam bentuk syair.
Karyanya yang lain, berjudul Bughyat al-‘Ani fi Huruf al-Ma’ani, diterbitkan oleh Mathba’at al-Ahmadiah Press,singapur, pada tahun 1922. Buku pelajaran bahasa Melayu ini banyak mengambil contoh yang diduga merupakan pendaman kasih diri pengarangnya sendiri. Dalam buku inilah Raja Ali Kelana mengemukakan aforisma tentang batas-batas kesetiaan kita pada suatu negeri, dengan kalimat: “Apabika negeri itu berubah kekuasaannya maka tinggalkan dia.” Pada tahun 1925, karya Raja Ali Kelana yang lain, berjudul Rencana Madah Pada Mengenal Diri yang Indah, diterbitkan Mathba’at al-Ahmadiah press, Singapura.

9.                  AISYAH SULAIMAN
Beliau lebih dikenal dengan nama Aisyah Suliman saja. Nama lengkapnya Raja Aisyah binti Raja Sulaiman. Aisyah Sulaiman adalah cucu Raja Ali Haji . suaminya adalah Raja Khalid bin Raja Hasan atau lebih dikenal sebagai Khalid Hitam, yang selain menjadi politis kerajaan Riau-Lingga, juga seorang pengarang. Selain menjadi suaminya, Khalid Hitam sesungguhnya saudara sepupu Aisyah Sulaiman. Dengan demikian, Aisya Sulaiman memang keturunan dan hidup di lingkungan keluarga pengarang. Selain itu, beliau jelaslah keturunan Diraja Kerajaan Riau-Lingga.
Tak selalu dapat di pastikan tarikh kehidupan Aisyah Sulaiman. Walaupun begitu, beliau di perkirakan lahir pada 1869 atau 1870 dan meninggal pada 1924 atau 1925 dalam usia lebih kurang 55 tahun. Sebagai puteri Diraja Melayu, Aisyah Sulaiman sangat akrab dengan kehidupan di lingkungan istanaKerajaan Riau-Lingga. Di sanalah, yaitu di tempat kedudukan yang di pertuan muda (Raja Muda) Kerajaan Riau-Lingga, di pulau Penyengat Inderasakti, beliau dilahirkan dan dibesarkan. Akan tetapi, kehidupan di lingkungan istana Diraja di pulau Penyengat, tanah tumpah darahnya itu, tak dapat di nikmatinya sampai akhir hayatnya. Pasal, 1913 kerajaan Riau-Lingga dihapuskan oleh pemerintah colonial Belanda. Karena tidak sudi hidup di bawah pemerintahan penjajahan Belanda, Aisyah Sulaiman dan keluarganya berhijrah ke singapura. Tak lama bermustautin di Singapura, beliau harus berpindah lagi ke Johor karena menghindari orang-orang yang menaruh hati terhadapnya selepas suaminya tercinta meninggal di Tokyo, Jepang, pada 11 Maret 1914 dalam suatu misi politik meminta bantuan Pemerintah Jepang untuk menghalau penjajah Belanda dari kerajaan Riau-Lingga (Kepulauan Riau). Di Johorlah, kemudian, Aisyah Sulaiman bertempat tinggal sampai ke akhir hanyatnya. Dalam teradisi kepengarangan, Aisyah Sulaiman dapat digolonkan sebagai pelopor pengarang zaman peralihan atau transisi dari kesusastraan Melayu tradisionalke susastraan Melayu –Indonesia modern. Kenyataan itu ditinjau dari sudut masa kepengarangan dan tema karya yang dihasilkan walaupun beliau masih menggunakan genre kesusastraan tradisional, yaitu syair dan hikayat. Berdasarkan sudut pandang itu, pendapat yang selama ini menyebutkan bahwa Musyi Abdullah bin Musyi Abdul Kadir atau Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi sebagai pelopor kesusastraan Melayu modern harus diperdebatkan. Pasal, Munsyi Abdullah hidup sampai pertengahan abad ke-19, sedangkan masa peralihan kesusastraan Melayu tradisional ke Melayu modern berlangsung sejak pertengahan abad ke-19 sampai dengan perempat awal abadke-20. Masa-masa itulah Aisyah Sulaiman sedang giat-giatnya berkarya, sedangkan Munsyi Abdullah telah tiada.
Dalam karirnya sebagia pengarang, sepanjang yang dapat diketahui, Aisyah Sulaiman menghasilkan empat buah karya. Karya-karya tersebut diperikan sebagai berikut :
1)      Hikayat Syamsul Anwar atau hikayat Badrul Muin. Hikayat ini diduga merupakan karya awal Aisyah Sulaiman.
2)      Syair Khadamuddin. Karya ini diterbitkan pada 1345 H. atau 1926 M. menurut Beberapa peneliti, syair ini ditulis setelah beliau pindah ke Singapura.
3)      Hikayat Syarif al-Akhtar. Hikayat ini baru diterbitkan setelah Aisyah Sulaiman meninggal dunia pada 1929 M.
4)      Syair Seligi Tajam Bertimbal. Berbeda dengan karya-karya sebelumnya, dalam karyanya ini Aisyah Sulaiman tak menggunakan nama asli, tetapi memakai nama samara Cik Wok Aminah.

b)      Gelombang  kedua pengarang di kepulauan Riau
Seiring dengan merosotnya kuasa politik kerajaan Riau-Lingga pada awal abad ke-20, apalagi setelah kerajaan Melayu Riau itu dibubarkan oleh Belanda pada tahun 1913, merosot pula tradisi intelektual Tanjungpinang. Pada masa transisi menuju Indonesia merdeka yang penuh gejolak ini, tradisi kepengarangan Tanjingpinang mengalami kemerosotan. Selama sekitar 40 tahun, yaitu antara tahun 1929 hingga 1969, tradisi intelektual redup, jika tidak mati sama sekali. Baru pada tahun 1970-an tradisi intelektual Tanjungpinang bangkit lagi. Hal itu ditandai dengan lahirnya sastrawan-sastrawan Indonesia  terkemuka asal Tanungpinang.
Inilah gelombang kedua kepengarangan Tanjungpinang yang dimotori oleh trio sastrawan Hasan Junus, Rida K. Liamsi, dan Sutardji Calzoum Bachri. Setelah itu, lahirlah sastrawan-sastrawan Tanjungpinang yang lebih muda, yang lebih muda, yang berakar kuat pada tradisi mereka. Kehidupan sastra dan kepengarangan di tanjungpinang pun bergairah kembali, tradisi sastra yang dijejakkan para sastrawan generasi 1970-an itu sampai generasi mitakhir.
1.                 HASAN JUNUS
Hasan Junus adalah guru penyair dan budayawan Riau. Nyaris tak ada sastrawan Riau semasa yang tidak pernah terkena sentuhan pemikirannya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengetahuannya yang sangat luas tentang budaya, tradisi sastra, dan khazanah sastra klasik Riau menjadikannya sosok tempat bertanya dan meminta pendapat. Pengenalannya yang sangat luas atas tradisi sastra mancanegara, menjadikannya tumpuan untuk menggali pengetahuan, dan perhatiannya yang total pada kehidupan sastra di Riau, menjadikannya pelabuhan tempat sastrawan pergi dan pulang.
Hasan Junus di lahirkan di pulau Penyengat, kepulauan Riau, 12 Januari 1941. Ia melanjutkan studinya di jurusan Sejarah dan Antropologi, Fakultas Sastra, Universitas Padjajaran, Bandung. Selain itu, ia juga memperdalam studi di jurusan Bahasa Timur, Instidute of Foreign Languages. Tidak puas dengan itu, ia masih memperdalam bahasa-bahasa Eropa pada berbagai balai kursus dan perkumpulan budaya.
Pada tahun 1983-1986, ia menjadi tenaga pengajar luar biasa di FKIP, Universitas Islam Riau. Selepas itu, ia mengajar sastra Bandingan dan Bahasa Naskah Melayu pada Fakultas sastra Universitas Lancang Kuning, pekanbaru, sampai tahun 1998. Banyak karya yang telah lahir dari tanganya, baik berupa karya kreatif maupun karya ilmiah, baik karya asli bmaupun saudaran dan terjemahan.
Karya-karya Hasan Junus telah terbit dalam sejumlah antologi, antara lain Jelaga, sebuah kumpulan puisi dan esai bersama Iskandar Leo/ Rida K. Liamsi dan Eddy Mawuntu(1969), Anthologi of Asean Literature-Oral Liturature of Indonesia (1983), dan Keremunting, sebuah kumpulan cerita pendek bersama Rus Abrus, Ediruslan pe Amanriza, Syamsul Bachri, dan Sudarno Mahyudin (1989).
Sebagian seniman beranggapan bahwa kecendekiawanan dan kesastrawanan Hasan Junus tidak dapat dilepaskan dari silsilah leluhurnya, karena dalam diri Hasan Junus telah mengalir darah pujangga besar Raja Ali Haji.
2.                 RIDA K. LIAMSI
Rida k. Liamsi terlahir dengan nama Ismail kadir di Dabosingkep, 17 Juli 1943. Awalnya ia bertugas sebagai guru sekolah dasar, yang antara lain mengajar di Tanjungpinang. Kemudia, ia memutuskan untuk menjadi jurnalis. Karir jurnalisnya dijalin dengan 8 tahun menjadi wartawan Harian Suara Karya. Ia kemudian pindah ke Riau pos, sebuah Koran yang terbit di pekanbaru ia kemudian menjadi CEO Riau Pos Group (RPG) dan mengelola kelompok bisnis media di Riau, kepulauan Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Nangroe Aceh Darussalam (NAD), termasuk televisi lokal. Rida K. Liamsi adalah the first and the dalam dunia pers di Riau. Dialah orang Riau pertama yang mengomandani bisnis media massa yang terbentang di Sumatera mulai dari Riau hingga ke Nangro Aceh Darussallam.
Minat Rida k. Liamsi pada sastra dan kesusastraannya dalam menulis puisi, telah mulai sejak ia duduk dibangku  sekolah menengah pertama. Saat ia kian serius menulis puisi, maka puisinya mulai di muat di berbagai surat kabar sarta majalah budaya. Puisi-puisinya mulai di muat majalah sastra Horison, selain dimuat di berbagai surat kabar serta majalah budaya. Puisi-puisinya dan esainya terbit pertama kali dalam jelaga (1969), sementara buku sajaknya yang pertama adalah Ode ke-X  (1981), muncul kemudian buku sajal yang kedua, Tempuling (2003). Setelah itu, terbit kumpulan puisinyayang ketiga, yakni Perjalanan Kelekatu (2008).
3.                 SUTADJI CALZOUM BACHRI
Sutadji Calzoum Bachri dalam khazanah sastra Indonesia adalah el libertador alias sang pembebas, ia lahir di Rengat, Riau 24 Juni 1941. Ayahnya, Mohammad Bachri adalah ajun inspektur polisi di Tanjungpinang. Ibunya, May Calzoum, berasal dari Tambelan, Pulau Tujuh, kepulauan Riau. Sutardji kecil menetap bersama kedua orang tuanya di Tangjungpinang. Selepas SMA, ia melanjutkan studi ke Jurusan Administrasi Negara, Fakultas Sosial Politik, Universitas Padjajaran (Unpad), Bandung. Di sanalah ia terus mengembangkan daya kreatifnya dalam berpuisi yang memang sudah membara sejak ia masih di tanjungpinang. Puisinya yakni O (1973), Amuk (1977), dan di susul dengan Kapak (1981). Selain menulis puisi ia juga menulis cerpen dan esai. Cerpen-cerpennya telah terbit dengan judul Hujan Menulis Ayam (2001)  sementara esainya terbit dalam buku Gelak esai dan ombak sajak Anno (2001) dan Hijau Kelon dan puisi (2002). Kedua esai tersebut merupakan esai-esai yang ditulis bagi harian Kompas dalam kapasitasnya sebagai redaktur puisi Kompas minggu.  Kumpulan esainya yang relative lengkap adalah Isyarat (2007). Dalam buku yang boleh di bilang tebal ini, tergambar perjalanan pemikiran Sutardji Calzoum Bachri sejak dulu hingga kini.
Berbagai penghargaan dan anugrah sastra telah diterimanya, antara lain Hadia puisi DKJ untuk bukunya O (1976) dan bukunya Amuk (1977), penghargaan sastra Chairil Anwar, DKJ (1993) gelar seniman perdana dari Dewan Kesenia Riau (2001), Anugrah sastra Majelis sastra Asia Tenggara (Mestera) , Brunai Darussalam (2006), Achmad Bakrie Award (2008), dan anugrah dari presiden Republik Indonesia (2008)


4.                  IBRAHIM  SATTAH
Ibrahim Sattah lahir di Tarempak, Laut Cina Selatan, 1943, Ibrahim Sattah ditinggal kedua orang tuanya selagi masih muda. Maka sebagai anak muda, dia pun mejalani hidup agak muram, dan tumbuh dalam keluarga yang kurang mampu pula. Dia hanya menyelesaikan pendidikanya mengantongi ijazah Sekolah Menengah Ekonomi Pertama. Berbekal ijazah ittu, dia berangkat ke Tanjungpinang, Bintan, tidak untukmelanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya, sesuai jurusan sebelumnya, melainkan untuk mengikuti ujian masuk sekolah polisi. Ini berarti Ibrahim tidak mudah memang bercita-cita menjadi polisi. Tapi itulah satu-satunya satu-satunya kesempatan baginya untuk melanjutkan sekolah. Nasib rupanya berpihak padanya. Dia adalah satu dari 17 siswa yang lulus tes dari 97 pendaftar. Sekolah polisi itu sendiri terdapat di Pekanbaru, Riau.
Setelah setahun menjadi polisi ia pun memeutuskan untuk keluar dari kepolisian. 1978 Ibrahim resmi keluar dari kepolisian. Menjalankan tugas-tugas menjadi guru rupanya lebih dekat dengan jiwa Ibrahim tinimbang menjadi polisi. Yang lebih dekat lagi denngan panggilan jiwanya adalah dunia kepenyairan yang sudah cukup lama digelutinya. Baginya, polisi ternyata profesi yanf asing. Sesuatu yang berat terutama secara moral. Ketika itu Ibrahim sudah cukup dikenal sebagai penyair. Bahkan panggilan jiwanya pada dunia kepenyairan begitu kuat, sehingga ia memutuskan untuk menekuni dunia kepenyairan dan kesenian sebagai plihan hidupnya. Puisinya sudah dimuat di majalah Horison, yang secara menaikkan debutnya sebagai penyair
Puisi-puisi Ibrahim Sattah terbit sebagai buku. Setelah Dandandit (1975), terbit Ibrahim (1980) dan Hai Ti (1981). Buku puisi yang terbit kemudian memuat lagi beberapa puisi yang dimuat dalam buku sebelumnya, dengan beberapa pembahasan baik diksi maupun tipografi. Puisi-puisinya dimuat juga dalam antologi dan buku acara sastra, antara lain dalam Sejumlah Sajak untuk hari sastera’83 (1983).
5.                  BM SYAMSUDDIN
Bm Syamsuddin lahir di Sedanau, 10 Mei 1935, Bm Syamsuddin menyelesaikan pendidikan di Sekolah Guru Atas (SGA), dan sempat mengenyam pendidikan tinggi dijurusan sastra dan seni FKIP. Universitas Riau, Pekanbaru. Sesuai dengan pendidikan formalnya, Bm Sam pernah menjadi guru SD dan SMP (1955-1981) di beberapa daerah di kawasan Riau. Pernah pula menjadi dosen luar biasa di FKIP Universitas Islam Riau, Pekanbaru (1988-1994).
Karya drama Fatimah Sri Gunung (1971), Payung Orang Sekampung-kampung (1975), Warung Bulan (1980) dan Tunggul (1981). Berkaitan dengan seni pertunjukan tradisional ini, BM Syam juga menulis buku Mendu Kesenian Rakyat Riau (1981) dan seni Peram Makyong (1982). Di samping itu, BM Syamsuddin menulis cerita anak-anak, dan untuk itu dia juga banyak menimba ilham dari khazanah tradisi Kepulauan Riau, stidaknya ada 5 buku cerita anak-anak, yakni Sikelincing dan Sepasan terompah cik gasih (1981), Batu belah batu bertangkup (1981), dua beradik tiga sekawan (1982), Ligon (1983), dan cerita rakyat dari batam (1996).


6.                 MACHZUMI DAWOOD
Machzumi Dawood dikenal pula sebagai M.D Moehammad. Ia lahir di Tanjungpinang, 5 Desember 1951. Sejak tahun 1970-an ia terus menerus aktif brkesenian dan menulis. Tidak kurang dari 11 tahun (1977-1987) ia menjadi penyelenggara “Ruang sastra dan kebudayaan” RRI Tanjungpinang. Berbagai lomba juga diikutinya dan membuahkan hasil,diantaranya pemenang harapan lomba mengarang fiksi Majalah Gadis, Jakarta (1977), pemenang lomba II lomba cipta puisi 50 tahun Sumpah Pemuda yang diadakan oleh Radio La Victor dan Bengkel muda Surabaya (1978), dan pemenang III lomba penulisan pariwisata kepulauan Riau di Tanjungpinang.
Machzumi Dawood memulai karir penyairnya secara serius sejak tahun 1971. Kumpulan sajaknya yang pertama terbit pada bulan Desember 1974, yakni Kumpulan Pertama. buku ini berisi 13 buah sajak dan diterbitkan khusus untuk bengkel teater Grota Tanjungpinang. Dua tahun kemudian, (1976), kumpulan sajaknya yang kedua terbit secara stensilan dengan judul Topeng Bulan. Kali ini berisi 25 sajak. Belakangan, 26 sajaknya yang baru diterbitkan sebagai kumpulan sajaknya yang ketiga dan diberi judul Sajak Untuk Dia (1996). Puisi-puisinya cenderung liris dan menjadikan peristiwa dan kehidupan sehari-hari sebagai sumber utama inspirasi puitinya.
7.                  TUSIRAN SUSENO
Tusiran suseno lahir di Tanjungpinang, 30 Juni 1957, di antara pengarang-pengarang Tanjungpinang Tusiran suseno terbilang sangat produktif. Dia menulis puisi, cerpen, novel dan drama. Mula-mula Tusiran menulis Sandiwara Radio, terutama ketika pria itu bekerja di Radio Republik Indonesia (RRI). konon jumlah drama radionya mencapai ribuan. Sebagian mendapat sejumlah penghargaan. Setegar karang, misalnya meraih juara II swara kencana (1989), dan ombak gelombang meraih juara I Swara kencana (1991) sekaligus mewakili Indonesia memperebutkan Trophy Morits Hight di Jepang. Selanjutnya,  pelangi meraih juara II (1995) dan karang di laut hati meraih Juara II (1998). Karya novelyang sudah terbit adalah Matahari di bawah Laut (1998), sebuah perjalanan : Menampak tak berjejak (1999), bangsawan (2003), siti paying (2004), dan mutiara karam (2008). Novel mutiara karang meraih juara II sayembara penulisan novel yang diselenggarakan  oleh dewan kesenian Jakarta (DKJ) di tahun 2006. Meski menulis semua genre sastra, tak syak lagi novel-novel sastrawan yang kini bekerja sebagai pegawai negeri pada pemerintahan kota Tanjungpinang, patut mendapat perhatian khusus terutama dalam konteks sastra Indonesia modern.
Tak diragukan lagi bahawa Tusiran hamper menyeluruh memberikan hamper seluruh minat dan perhatianya pada kebudayaan Melayu. Karya-karyanya yang menyuarakan berbagai aspek tentang dunia Melayu, khususnya Melayu kepulauan Riau, yang pastilah mengukuhkan posisinya sebagai budayawan Melayu yang penting. Lewat karya-karyanya Tusiran Suseno telah mengemukakan aspek-aspek penting dari kebudayaan dan masyarakat Melayu, dengan kompleksitas masalah masa lalu dan masa kininya yang kian menantang.



8.                  ABDUL KADIR IBRAHIM

Abdul Kadir Ibrahim, yang dikenal dan kerap di panggil dengan nama penanya  AKIB,lahir pada 4 Juni 1966 di Kelarik Ulu, Natuna, Kepri, dari pasangan H. Ibrahim dan Hj. Hatijah. Meski minatnya pada seni, khusus sastra, sudah mengelora sejak duduk di bangku Madrasah Aliyah, AKIB ternyata memilih melanjutkan studi di bangku pendidikan guru agama Islam di Fakultas Tarbiayah Institud agama Islam Negeri Sultan Syarif Qasim Pekanbaru, Riau. Ia meraih gelar sarjana S-1 pada 1991. Selepas itu menempuh pendidikan pascasarjana sebagai Megister Teknik (S-2) pada program Megister Teknik Pembangunan wilayah dan kota, Universitas Diponegoro, Semarang , Jawa Tengah (2008).
Puisi-puisinya yang terbit pertama kali dalam kumpulan puisi 66 Menguak (1991) sementara itu, ia bersama Muchid al Bintani Menerbitkan buku Cakap Rampai Orang Patut-patut (2000). Selain puisi ia juga menulis cerpen. Cerpennya terbit dalam menjual Natuana yang diterbitkan oleh yayasan Sagang, Pekanbaru (2000). Harta Karun  merupakan kumpulan cerita anak-anak, yang sebagian digali dari khazanah cerita rakyat Riau dan sebagainya di gali dari kehidupan sehari-hari di wilayah laut kepulauan Riau, khususnya Natuna. Buku ini masuk nominasi pusat pebukuan Nasional, Jakarta, 1997, diterbitkan Unri press, Pekanbaru (2000 dan 2001). Selain puisi dan cerpen, ia juga menulis esai dan telaah. Esai dan telaahnya telah terbit, baik dalam bunga rampai bersama penulis lain maupun sebagai karya tunggal. Esai dan telaah yang ditulisnya bersama penulis lain adalah Aisyah Sulaiman Riau, pengarang dan pejuang perempuan (2004), Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji sebagai bapak Bahasa Indonesia (2004), Tanjungpinang kota Gurindam, Gurindam Dua belas Raja Ali Haji (2004), dan Penafsiran dan Pejelasan Gurindam Dua Belas Raja Ali Haji (2009).
Pengabdianya selama berpuluh tahun di bidang kebudayaan, khususnya sastra, membuahkan hasil berupa pengakuan dan penghargaan secara nasional. Penghargaan nasional yang diraihnya adalah Man of the year 2009 dari yayasan penghargaan Indonesia, dan Indonesia best executive of the year 2009 dari Citra Mandiri Indonesia. Dari pernikahanya dengan Ermita Thaib, S.Ag., AKIB dikaruniai tiga anak, Tiara ayu Karmila (26 September 1999), Safril Rahmat (22 April 2002), dan Sasqia Nurhasanah (29 Juni 2006). Abdul kadir Ibrahim tentu saja merupakan salah satu seorang penyair penting pentinfg kepulauan Riau.

9.                  HOESNIZAR  HOOD
Lahir di desa Sungai Ungar, Kepulauan Riau, 11 Desember 1967, Hoesnizar  hood mendirikan pusat  latihan seni Sanggam di Tanjungpinang, 1997, yang lebih berorientasipada berbagai seni pertunjukan dengan akar budaya melayu.
Buku pertamanya adalah Kalau: Tiga Racik Sajak (1997), adapun buku keduanya adalah Tarian orang Lagoi (Pekanbaru: Yayasan Kata,1999) dengan kata pengantar oleh Hasan Junus. Mewariskan kebudayaan Melayu, Hoesnizar Hood menggali roh kebudayaan Melayu itu sendiri dan menggemakanya kembali melalui karya-karyanya. Dan, suaranya, adalah gema gelisah seorang penyair akan kampung halamanya yang mengalami berbagai guncangan.
10.              BHINNEKA SOERYA SAM
Bhinneka Soerya Sam sama dengan penyair seniornya, Ibrahin Sattah. Yakni polisi. Setelah menamatkan bangku SLTA (SMA) di tahun 1977, pria kelahiran Tanjungpinang, 1 Maret 1960, ini memang mengikuti pendidikan militer. Dan sejak tahun 1978, dia resmi memasuki dinas kemilitiran, ditempatkan di institusi militer. Seterusnya Bhineka bertugas di dinas kepolisian samapi dia menyatakan berhenti, 1 Juni 1998.
Minatnya pada kesenian sudah tumbuh sejak dia duduk di bangku sekolah. Sejak itu pula dia berkecimpung di dunia kesenian. Yang mula-mula digelutinya adalah seni tari, khususnya tari Melayu, lebih khusus lagi teri zapin. Dia dikenal sebagai penari zapin yang andal. Sebagai penari, di tahun 1976 dia bergabung dengan Sanggar Mayang Sari di Tanjungpinang. Bersama sanggar ini dia mementaskan beberapa nomor pertunjukan tari.
Puisi-puisinya, Tanda mata (1996, berama Tusiran suseno, dan Heru Yago Sumargo) Sajak-sajak dimimbar DPR (1998, bersama enam penyair Tanjungpinang), Rampai Melayu untuk kepulauan Riau (2006), dan ka te pe (2007).
Demikianlah, Bhinneka Soerya Sam mewarisi pemikiran tasawuf falsafi, satu corak spekulatif dalam tradisi keilmuan dan kerohanian islam yang pernah meramaikan khazanah intelektual dan spiritual Islam itu sendiri, termaksud di dunia Melayu.
11.              JUNEWAL MUCHTAR
Di kenal dengan nama Lewan. Nama sebenarnya adalah Junewal Muchtar. Lawen adalah ejaan terbaik lima huruf terakhir pada nama depan penyair kelahiran kepulauan Riau, 2 Juni 1956 ini. Junewal telah menerbitkan 4 buku kumpulan puisi, yaitu Batu Api (Tanjungpinang yayasan kata, 1999), perjalanan dara ke kota (2003), sembilu rindu (2003), dan topeng Makyong (2008).
Dilihat dari tradisi sastra Melayu, hal ini sesungguhnya tidak mengherankan. Sebagai seorang Melayu, Junewal tampak terinspirasi spirit tradisi berbalas pantun. Dalam berbalas pantun, diperlukan spontanitas tingkat tinggi, di mana seorang pemantun harus menjawab atau membalas secara spontan pantun  yang dilontarkan maupun pantun balasan mengandung relevansi dalam konteks masalah yang sedang dibicarakan.
Obsesi kepenyairan Junewal Muchtar adalah melawan segala bentuk api, dari mana pun ia datang. Maka, Juewal antara lain menulis : tak seharusnya kubawa biduk terbang ke mana / sukasukakulah/ kalian tidak boleh tahu, kalai kalian tahu ini semua, pasti / kalian akan menghancurkan diriku dengan sebilah batu api…




12.             SURYATATI A MANAN
Orang yang memegang kekuasaan tidak punya waktu membaca buku. Orang yang membaca buku tidak pantas memegang kekuasaan, demikian ucapan Volitaire. Surya Tati Amanan adalah orang yang memegang kukuasaan, dan ia senantiasa membuat dirinya selalu punya waktu membaca buku. Suryatati bukan hanya memegang kekuasaan dan punya waktu membaca buku, ia bahkan punya waktu untuk menulis, bahkan menulis puisi, sebuah genre tulisan yang tidak lazim ditulis para penguasa. Sejumlah buku puisi telah terbit dari tanganya, antara lain: Melayukah Aku (2007), Perempuan Walikota (2008), dan Surat Untuk Suami (2010). Buku kumpulan puisi bersama, yakni Jalan bersama, berupa bunga rampai bersama penyair lain (2008). Perempuan Dalam Makna (2009) dan Bual Kedai Kopi (2010) adalah buku puisi dan pantun yang terbit bersama Martha Sinaga. Selain menulis puisi, Tatik-demikian ia akrab di panggil-juga menulis esai dan telaah. Yang telah terbit adalah revitalisasi Sastra Melayu.
Penyair yang bernama lengkap Siryatati A. Manan ini, lahir di tanjungpinang, kepulauan Riau, 14 April 1953. Selesai merai gelar Sarjana Muda APDN (Akedemi Pemerintahan Dalam Negeri) Pekanbaru, ia bertugas sebagai tenaga honorer di kantor Bupati Kabupaten Kepulauan Riau (1976). Setahun kemudian ia diangkat sebagai CPNS, la;u di angkat sebagai PNS dengan jabatan pertama sebagai kasubbag perundang-undangan Bagian Hukum, kantor bupati kabupaten kepulauan Riau (1978-1980). Pada yahun 1983 ia ditunjuk sebagai plt. Kabag Hukum dan mendapat kesempatan belajar ke IIP (Institut Ilmu Pemerintahan) Jakarta. Sesuai menyelesaikan kuliah dan meraih gelar sarjana (1985), ia ditugaskan kembali sebagai Kabag Perekonomian (1985-1993).
Sebenarnya puisi-puisi Tatik, sudah menarik perhatian ia menjadi walikota. Namun, dampak kepenyairannya sangat terasa setelah ia menjadi walikota. Dan kerap membacakan puisi-puisinya pada acara-acara resmi, termasuk saat memimpin upacara. Sudah barang tentu saat pertama kali memimpin upacara resmi dan membacakan puisinya di sana, baik masyarakat maupun anak buahnya tersentak kaget. Namun, melihat bu walikota dengan tenang dan yakin kerap membacakan puisi dalam berbagai kesempatan. Tidak butuh waktu lama, kebiasaan membacakan puisi –yang tandinya hanya dilakukan oleh sejumlah penyair dan deklamator –  itu pun manjadi wabah di kalangan masyarakat luas. Puisi, tiba-tiba menjadi sesuatu yang akrab dan diakrabi oleh masyarakat Tanjungpinang.
Dalam puisinya, Suryatati A. Amanan cenderung menanyakan hal-hal krusial semacam itu justru pada dirinya sendiri. Eksplorasi estetik, rupanya bukan perhatian utama Suryatati. Ia lebih bersuara dengan sederhana. Puisi, di matanya bukanlah sebuah pergaulan eksistensial antara aku dan ada, melainkan lebih berupa cara mengada bersama dan cara berkomunikasi dengan masyarakatnya, lebih khusus lagi. Masyarakat Tanjungpinang. Dengan puisi ia mengajak dirinya dan pembacanya untuk saling bertukar-tukar temapat, saling bertanya dan menguji sudut pandang, utuk tiba pada semacam pemahaman, bahwa sesuatu hal seringkali akan bergantug pada siapa yang memandang dan bagaimana ia di pandnag. Puisi, dalam hal ini, adalah sebuah cara untuk menghormati keberagaman pandangan sambari membuka jalan untuk membicarakan pandangan tersebut secara lebih rileks dan tidak tegang.


C.               KARYA-KARYA  SASTRA
1.                  Gurindam Dua Belas 12 Karya Raja Ali Haji

Gurindam I
Barang siapa tiada memegang agama,sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama. Barang siapa mengenal yang empat,maka ia itulah orang ma’rifat Barang siapa mengenal Allah,suruh dan tegahnya tiada ia menyalah. Barang siapa mengenal diri,maka telah mengenal akan Tuhan yang bahari. Barang siapa mengenal dunia,tahulah ia barang yang terpedaya. Barang siapa mengenal akhirat,tahulah ia dunia melarat.

Gurindam II
Barang siapa mengenal yang tersebut, tahulah ia makna takut. Barang siapa meninggalkan sembahyang, seperti rumah tiada bertiang. Barang siapa meninggalkan puasa, tidaklah mendapat dua temasya. Barang siapa meninggalkan zakat, tiadalah hartanya beroleh berkat. Barang siapa meninggalkan haji, tiadalah ia menyempurnakan janji.

Gurindam III
Apabila terpelihara mata,
sedikitlah cita-cita.
Apabila terpelihara kuping,
khabar yang jahat tiadalah damping.
Apabila terpelihara lidah,
nescaya dapat daripadanya faedah.
Bersungguh-sungguh engkau memeliharakan tangan,
daripada segala berat dan ringan.
Apabila perut terlalu penuh,
keluarlah fi’il yang tiada senonoh.
Anggota tengah hendaklah ingat,
di situlah banyak orang yang hilang semangat
Hendaklah peliharakan kaki,
daripada berjalan yang membawa rugi.

















Gurindam IV
Hati kerajaan di dalam tubuh,
jikalau zalim segala anggota pun roboh.
Apabila dengki sudah bertanah,
datanglah daripadanya beberapa anak panah.
Mengumpat dan memuji hendaklah pikir,
di situlah banyak orang yang tergelincir.
Pekerjaan marah jangan dibela,
nanti hilang akal di kepala.
Jika sedikitpun berbuat bohong,
boleh diumpamakan mulutnya itu pekong.
Tanda orang yang amat celaka,
aib dirinya tiada ia sangka.
Bakhil jangan diberi singgah,
itupun perampok yang amat gagah.
Barang siapa yang sudah besar,
janganlah kelakuannya membuat kasar.
Barang siapa perkataan kotor,
mulutnya itu umpama ketur.
Di mana tahu salah diri,
jika tidak orang lain yang berperi.

Gurindam V
Jika hendak mengenal orang berbangsa,
lihat kepada budi dan bahasa,
Jika hendak mengenal orang yang berbahagia,
sangat memeliharakan yang sia-sia.
Jika hendak mengenal orang mulia,
lihatlah kepada kelakuan dia.
Jika hendak mengenal orang yang berilmu,
bertanya dan belajar tiadalah jemu.
Jika hendak mengenal orang yang berakal,
di dalam dunia mengambil bekal.
Jika hendak mengenal orang yang baik perangai,
lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai.

Gurindam VI
Cahari olehmu akan sahabat,
yang boleh dijadikan obat.
Cahari olehmu akan guru,
yang boleh tahukan tiap seteru.
Cahari olehmu akan isteri,
yang boleh menyerahkan diri.
Cahari olehmu akan kawan,
pilih segala orang yang setiawan.
Cahari olehmu akan abdi,
yang ada baik sedikit budi,



Gurindam VII
Apabila banyak berkata-kata,
di situlah jalan masuk dusta.
Apabila banyak berlebih-lebihan suka,
itulah tanda hampir duka.
Apabila kita kurang siasat,
itulah tanda pekerjaan hendak sesat.
Apabila anak tidak dilatih,
jika besar bapanya letih.
Apabila banyak mencela orang,
itulah tanda dirinya kurang.
Apabila orang yang banyak tidur,
sia-sia sahajalah umur.
Apabila mendengar akan khabar,
menerimanya itu hendaklah sabar.
Apabila mendengar akan aduan,
membicarakannya itu hendaklah cemburuan.
Apabila perkataan yang lemah-lembut,
lekaslah segala orang mengikut.
Apabila perkataan yang amat kasar,
lekaslah orang sekalian gusar.
Apabila pekerjaan yang amat benar,
tidak boleh orang berbuat onar.

Gurindam VIII
Barang siapa khianat akan dirinya,
apalagi kepada lainnya.
Kepada dirinya ia aniaya,
orang itu jangan engkau percaya.
Lidah yang suka membenarkan dirinya,
daripada yang lain dapat kesalahannya.
Daripada memuji diri hendaklah sabar,
biar pada orang datangnya khabar.
Orang yang suka menampakkan jasa,
setengah daripada syirik mengaku kuasa.
Kejahatan diri sembunyikan,
kebaikan diri diamkan.
Keaiban orang jangan dibuka,
keaiban diri hendaklah sangka.










Gurindam IX
Tahu pekerjaan tak baik,
tetapi dikerjakan,
bukannya manusia yaituiah syaitan.
Kejahatan seorang perempuan tua,
itulah iblis punya penggawa.
Kepada segaia hamba-hamba raja,
di situlah syaitan tempatnya manja.
Kebanyakan orang yang muda-muda,
di situlah syaitan tempat berkuda.
Perkumpulan laki-laki dengan perempuan,
di situlah syaitan punya jamuan.
Adapun orang tua yang hemat,
syaitan tak suka membuat sahabat
Jika orang muda kuat berguru,
dengan syaitan jadi berseteru.

Gurindam X
Dengan bapa jangan durhaka,
supaya Allah tidak murka.
Dengan ibu hendaklah hormat,
supaya badan dapat selamat.
Dengan anak janganlah lalai,
supaya boleh naik ke tengah balai.
Dengan isteri dan gundik janganlah alpa,
supaya kemaluan jangan menerpa.
Dengan kawan hendaklah adil supaya tangannya jadi kafill.

Gurindam XI
Hendaklah berjasa,
kepada yang sebangsa.
Hendaklah jadi kepala,
buang perangai yang cela.
Hendaklah memegang amanat,
buanglah khianat.
Hendak marah,
dahulukan hajat.
Hendak dimulai,
jangan melalui.
Hendak ramai,
murahkan perangai.








Gurindam XII
Raja muafakat dengan menteri,
seperti kebun berpagarkan duri.
Betul hati kepada raja,
tanda jadi sebarang kerja.
Hukum adil atas rakyat,
tanda raja beroleh inayat.
Kasihkan orang yang berilmu,
tanda rahmat atas dirimu.
Hormat akan orang yang pandai,
tanda mengenal kasa dan cindai.
Ingatkan dirinya mati,
itulah asal berbuat bakti.
Akhirat itu terlalu nyata,
kepada hati yang tidak buta.


2.                  Syair Khadamuddin (1987, 13-14): Karya  Aisyah Sulaiman
“Beberapa Kabilah bersamanya itu
Berjalan darat ke negeri ratu
Tiba-tiba datang perompak di situ
Menyamun merampas tiada tentu
Ada melawan ada yang lari
Khadamuddin muda bestari
Bersama-sama membawa diri
Di suatu gua di dalam albari
Syahdan adapun mereka itu yang lari
Ada setengah balik ke negeri
Mendapatkan Khadamuddin ampunya isteri
Berkabarkan suaminya dibunuh pencuri
Dengan dalilnya bukan suatu
Tiap-tiap orang mensaksikan begitu
Sahlah mati saudagar itu
Dibunuh penyamun di atas batu” (Ding, 1999:93)













3.                  “Tapi “  Karya Sutardji Calzoum Bachri


Aku bawakan bunga padamu
Tapi kau bilang masih

Aku bawakan resahku padamu
Tapi kau bilang hanya

Aku bawakan darahku padamu
Tapi kau bilang Cuma

Aku bawakan mimpiku padamu
Tapi kau bilang meski

Aku bawakan dukaku padamu
Tapi kau bilang tapi

Aku bawakan arawahku padamu
Tapi kau bilang kalau

Tanpa apa aku datang  padamu
Wah!



4.                  “Air Kata-Kata”  Karya Junewal  Muchtar

Puih
Mari kita reguk air katakata
Di puncak suka suka kita
Kita daki sebisa kita yang kita inginkan
Dalam segala ingin dan angan

Kita berenang dalam lautan hayal
Memburu  jiwa yang bimbang dalam diri

Puih
Mari kita berbagi rasa dalam laut
Kedukaan kita
Dan kita hela pada perahu musa yang
Membawa sejta harapan
Mencari siapa

Air katakata
Menakik ke jiwa jiwaku
Mencari dari segala inginku
Hingga aku mabuk dalam duka
Melihat negriku yang semakin sepi
Bagaikan sepi diantara dua mempi
Nyeri di matahari.




5.                  “Keluhan III”  Karya Suryatati A. Manan


Bu wali, bagaimana dengan proposal kami?
Katanya kemarin menunggu Anggaran pendapaan
Daerah diketok
Sekarang sudah di ketok , kenapa belum cair-cair
Juga?

Bu, terima kasih
Proposal kami sudah disetujui
Tapi katanya dana pula yang tak ada

Bu, katanya proposal dah tak ada masalah
Sudah ada disposisi, dana ada tapi bendaharawan pula
Yang tidak ada

Bu, kami sudah berkali-kali ke sini
Dijanjikan dari hari kehari, berminggu-minggu
Ditunggu, berbulan-bulan
Menaruh harapan, samapai akhirnya
Tutup tahun anggaran
Yang dijanjikantinggal kenangan

Tunggu tahun hadapan katanya.















BAB III
PENUTUP

A.               Kesimpulan
Sudah sejak abad ke-19 ada hasil-hasil sastra berbahasa Melayu yang tidak ditulis oleh orang-orang yang berasal dari Kepulauan Riau atau Sumatra. Juga bahasa yang dipergunakannya akan sulit disebut sebagai bahasa Melayu yang murni atau bersih. Bahasa Melayu yang dipergunakan oleh para pengarang itu bukanlah bahasa Melayu Tinggi, melainkan bahasa Melayu rendah atau bahasa Melayu pasar. Sejak abad ke-19, tanjung pinang tidak hanya berkembang sebagai kota politik dan ekonomi. Lebih dari itu ia telah berkembang juga sebagai kota budaya. Hal itu ditandai dengan munculnya tradisi intelektual, dengan sejumlah cendekiawan yang produktif menulis, dikenal sebagai pujangga. Gelombang pertama pengarang di kepulauan Riau yaitu, Raja Ahmad, Raja Ali Haji, Haji Ibrahim, Raja Daud, Raja Hasan, Khalid Hitam, Abu Muhammad Adnan, Raja Ali Kelana. Aisyah Sulaiman.Seiring dengan merosotnya kuasa politik kerajaan Riau-Lingga pada awal abad ke-20, apalagi setelah kerajaan Melayu Riau itu dibubarkan oleh Belanda pada tahun 1913, merosot pula tradisi intelektual Tanjungpinang. Pada masa transisi menuju Indonesia merdeka yang penuh gejolak ini, tradisi kepengarangan Tanjingpinang mengalami kemerosotan. Selama sekitar 40 tahun, yaitu antara tahun 1929 hingga 1969, tradisi intelektual redup, jika tidak mati sama sekali. Baru pada tahun 1970-an tradisi intelektual Tanjungpinang bangkit lagi. Hal itu ditandai dengan lahirnya sastrawan-sastrawan Indonesia  terkemuka asal Tanungpinang. Gelombang  kedua pengarang di kepulauan Riau, yaitu Hasan Junus, Sutardji Calzoum Bachri, BM Syamsuddin, Machzumi Dawood, Tusiran Suseno, Abdul Kadir Ibrahim, Hoesnizar Hood, Bhinneka Soerya Sam, Suryatati A. Amanan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar