DI
SUSUN OLEH :
FITRI INDAH YUNITA
NIM : 140388201063
FAKULTAS KEGURUAN
DAN ILMU PENDIDIKAN
PENDIDIKAN BAHASA
DAN SASTRA INDONESIA 2014
UNIVERSITAS
MARITIM RAJA ALI HAJI
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah swt karena berkat rahmat dan hidayahnya, penulis telah
mampu menyelesaikan sebuah makalah yang berjudul PERKEMBANGAN SEJARAH SASTRA MELAYU
DI DERAH KEPRI Makalah ini di susun untuk memenuhi salah satu tugas ujian akhir semester.
Penulis menyadari bahwa selama penulisan makalah ini penulis banyak mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terimakasih.
Makalah ini bukanlah yang sempurna karena masih memiliki banyak kekurangan,
baik dalam hasil maupun sistematika dan teknik penulisannya. Oleh sabab itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya
semoga makalah ini bisa memberikan
manfaat bagi penulis dan pembaca.
Tanjung pinang, Desember 2014
Fitri
Indah Yunita
BAB
I
A.
Latar Belakang
Kawasan yang sekarang di kenal sebagai kepulauan Riau memiliki sejarah
panjang dan penting, baik dalam kencah politik, ekonomi dan budaya. Khususnya
pada masa kerajaan Riau-Lingga, tak syak lagi kawasan ini berkembang menjadi
salah satu pusat ekonomi, terutama berbasis perairan, selat, dan sejumlah
pelabuhan tempat kapal-kapal dagang dari berbagai belahan dunia datang dan
pergi. Tidaklah mengherankan kalau kolonialisme melirik kawasan ini, melemahkan
kekuatan politiknya, merebutkannya, memisahkan wilayah geografisnya,dan
menguasainya dalam waktu yang cukup lama.dan setelah pemerintahan keraajaan
Riau Lingga berpusat dipenyengat abad ke 19,sejarah kepulauan riau,tepatnya
kerajaan Riau Lingga memasuki babak baru dibidang kebudayaan, yaitu muncul dan
berkembangnya tradisi intelektual, yang ditandai dengan lahirnya karya-karya
sastra dan ilmu dalam bahsa melayu. Kerajaan Riau-Lingga tidak hanya
mengambangkan politik dan ekonomi, melainkan juga sastra dan ilmu sebagai
tradisi intelektual, tradisi baru di kawasan ini, dengan penyengat sebagai pusat utamanya. Sudah sejak abad ke-19 ada hasil-hasil sastra berbahasa Melayu yang
tidak ditulis oleh orang-orang yang berasal dari Kepulauan Riau atau Sumatra.
Juga bahasa yang dipergunakannya akan sulit disebut sebagai bahasa Melayu yang
murni atau bersih. Bahasa Melayu yang dipergunakan oleh para pengarang itu
bukanlah bahasa Melayu Tinggi, melainkan bahasa Melayu rendah atau bahasa
Melayu pasar.
Sementara itu hasil-hasil sastra Melayu yang ditulis dalam bahasa Melayu Tinggi juga bukan main banyaknya.Kesusastraan Melayu termasuk kesusastraan yang kaya di Kepulauan Nusantara. Banyak hikayat-hikayat, syair-syair, pantun-pantun, dan karya-karya sastra lain yang indah-indah dan usianya sudah berabad-abad. Hikayat si Miskin, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Indra Bangsawan, Hikayat Amir Hamzah, Syair Bidasari, Syair Ken Tambuhan, dan Sejarah Melayu ialah beberapa di antara karya-karya sastra klasik Melayu.
Pengarang-pengarangnya pun tidak sedikit, terutama berasal dari lingkungan ulama dan kesultanan di Kepulauan Riau. Di antara yang paling termashur ialah Raja Ali Haji, Nurudin Ar-Raniri, Tun Sri Lanang, Hamzah Fansuri, Abdulah bin Abdulkadir Munsyi. Abdulah terkenal karena usaha-usahanya memperbaharui sastra Melayu. Yang dikisahkannya bukanklagi fantasi tentang raja-raja dan putrera-puteri yag cantik, melainkan kehidupan sehari-hari. Ia hidup pada paroh pertama abad ke-19 dan menghasilkan karya-karya yang sekarang telah menajdi klasik; antara lain Syair Singapura Terbakar (1830), Kisah Pelayaran Abdulah dari Singapura ke Kelantang (1838), Hikayat ABdulah bin abdullkadir Munsyi (1894), dan kIsah Pelayaran abdulah ke Negri Jiddah (1849). Perbedaan bangsa yang menjajah menimbulkan perbedaan-perbedaan pula dalam pertumbuhan kebudyaan, cita-cita politik dan pola pikir suku-suku bangsa yang ada di wilayah Nusantara. Meskipun demikian, penduduk wilayah-wilayah yang terangkum dalam jajahan suatu bangsa penjajah merasakan nasib dan penderitaan yang sama, sehingga perhubungan antara penduduk daerah yang semula disebut "Nederlandsch Indie" (Hindia Belanda) semakin erat. Persaan tak puas karena menjadi hamba di tanah air sendiri, menyebabkan timbulnya perlawanan berupa pemberontakan bersenjata di berbagai daerah. Memang mula-mula perlawanan-perlawanan itu bersifat sporadis, terpecah-pecah dan merupakan perlawanan suatu suku bangsa melawan orang asing. Namun saat itu yang dianggap orang "asing" itu bukan hanya kulit putih, meliankan juga semua suku bangsa lain yang berasall dari Nusanrtara juga. Hal itu memudahkan Belanda untuk mengadu domba dan politik devide et impera efektif sekali untuk mellumpuhkan perlawanan orang bumi putra terhadap penjajahan Belanda.
Sementara itu hasil-hasil sastra Melayu yang ditulis dalam bahasa Melayu Tinggi juga bukan main banyaknya.Kesusastraan Melayu termasuk kesusastraan yang kaya di Kepulauan Nusantara. Banyak hikayat-hikayat, syair-syair, pantun-pantun, dan karya-karya sastra lain yang indah-indah dan usianya sudah berabad-abad. Hikayat si Miskin, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Indra Bangsawan, Hikayat Amir Hamzah, Syair Bidasari, Syair Ken Tambuhan, dan Sejarah Melayu ialah beberapa di antara karya-karya sastra klasik Melayu.
Pengarang-pengarangnya pun tidak sedikit, terutama berasal dari lingkungan ulama dan kesultanan di Kepulauan Riau. Di antara yang paling termashur ialah Raja Ali Haji, Nurudin Ar-Raniri, Tun Sri Lanang, Hamzah Fansuri, Abdulah bin Abdulkadir Munsyi. Abdulah terkenal karena usaha-usahanya memperbaharui sastra Melayu. Yang dikisahkannya bukanklagi fantasi tentang raja-raja dan putrera-puteri yag cantik, melainkan kehidupan sehari-hari. Ia hidup pada paroh pertama abad ke-19 dan menghasilkan karya-karya yang sekarang telah menajdi klasik; antara lain Syair Singapura Terbakar (1830), Kisah Pelayaran Abdulah dari Singapura ke Kelantang (1838), Hikayat ABdulah bin abdullkadir Munsyi (1894), dan kIsah Pelayaran abdulah ke Negri Jiddah (1849). Perbedaan bangsa yang menjajah menimbulkan perbedaan-perbedaan pula dalam pertumbuhan kebudyaan, cita-cita politik dan pola pikir suku-suku bangsa yang ada di wilayah Nusantara. Meskipun demikian, penduduk wilayah-wilayah yang terangkum dalam jajahan suatu bangsa penjajah merasakan nasib dan penderitaan yang sama, sehingga perhubungan antara penduduk daerah yang semula disebut "Nederlandsch Indie" (Hindia Belanda) semakin erat. Persaan tak puas karena menjadi hamba di tanah air sendiri, menyebabkan timbulnya perlawanan berupa pemberontakan bersenjata di berbagai daerah. Memang mula-mula perlawanan-perlawanan itu bersifat sporadis, terpecah-pecah dan merupakan perlawanan suatu suku bangsa melawan orang asing. Namun saat itu yang dianggap orang "asing" itu bukan hanya kulit putih, meliankan juga semua suku bangsa lain yang berasall dari Nusanrtara juga. Hal itu memudahkan Belanda untuk mengadu domba dan politik devide et impera efektif sekali untuk mellumpuhkan perlawanan orang bumi putra terhadap penjajahan Belanda.
BAB
II
SASTRA MELAYU MELAYU DI DAERAH KEPULAUAN RIAU
A.
Sejarah Sastra Melayu
Sudah sejak abad
ke-19 ada hasil-hasil sastra berbahasa Melayu yang tidak ditulis oleh
orang-orang yang berasal dari Kepulauan Riau atau Sumatra. Juga bahasa yang
dipergunakannya akan sulit disebut sebagai bahasa Melayu yang murni atau
bersih. Bahasa Melayu yang dipergunakan oleh para pengarang itu bukanlah bahasa
Melayu Tinggi, melainkan bahasa Melayu rendah atau bahasa Melayu pasar.
Sementara itu hasil-hasil sastra Melayu yang ditulis dalam bahasa Melayu Tinggi juga bukan main banyaknya.Kesusastraan Melayu termasuk kesusastraan yang kaya di Kepulauan Nusantara. Banyak hikayat-hikayat, syair-syair, pantun-pantun, dan karya-karya sastra lain yang indah-indah dan usianya sudah berabad-abad. Hikayat si Miskin, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Indra Bangsawan, Hikayat Amir Hamzah, Syair Bidasari, Syair Ken Tambuhan, dan Sejarah Melayu ialah beberapa di antara karya-karya sastra klasik Melayu. Pengarang-pengarangnya pun tidak sedikit, terutama berasal dari lingkungan ulama dan kesultanan di Kepulauan Riau. Di antara yang paling termashur ialah Raja Ali Haji, Nurudin Ar-Raniri, Tun Sri Lanang, Hamzah Fansuri, Abdulah bin Abdulkadir Munsyi. Abdulah terkenal karena usaha-usahanya memperbaharui sastra Melayu. Yang dikisahkannya bukanklagi fantasi tentang raja-raja dan putrera-puteri yag cantik, melainkan kehidupan sehari-hari. Ia hidup pada paroh pertama abad ke-19 dan menghasilkan karya-karya yang sekarang telah menajdi klasik; antara lain Syair Singapura Terbakar (1830), Kisah Pelayaran Abdulah dari Singapura ke Kelantang (1838), Hikayat ABdulah bin abdullkadir Munsyi (1894), dan kIsah Pelayaran abdulah ke Negri Jiddah (1849). Perbedaan bangsa yang menjajah menimbulkan perbedaan-perbedaan pula dalam pertumbuhan kebudyaan, cita-cita politik dan pola pikir suku-suku bangsa yang ada di wilayah Nusantara. Meskipun demikian, penduduk wilayah-wilayah yang terangkum dalam jajahan suatu bangsa penjajah merasakan nasib dan penderitaan yang sama, sehingga perhubungan antara penduduk daerah yang semula disebut "Nederlandsch Indie" (Hindia Belanda) semakin erat. Persaan tak puas karena menjadi hamba di tanah air sendiri, menyebabkan timbulnya perlawanan berupa pemberontakan bersenjata di berbagai daerah. Memang mula-mula perlawanan-perlawanan itu bersifat sporadis, terpecah-pecah dan merupakan perlawanan suatu suku bangsa melawan orang asing. Namun saat itu yang dianggap orang "asing" itu bukan hanya kulit putih, meliankan juga semua suku bangsa lain yang berasall dari Nusanrtara juga. Hal itu memudahkan Belanda untuk mengadu domba dan politik devide et impera efektif sekali untuk mellumpuhkan perlawanan orang bumi putra terhadap penjajahan Belanda. Tapi, pada awal abad ke-20 mulailah para pemimpin dan pejuang kemerdekaan kita sadar akan kelemahan dirinya dan akan kekuatan lawannya. Maka berasal dari perasaan senasib sepenanggungan karena sama-sama hidup di bawah cengkraman penjajah yang satu, tumbuhlah kesadaran nasional. Api nsionalisme itu menghilangkan perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh karena perbedaan sejarah, lingkungan kebudyaan, bahasa, adat-istiadat, temperamen dan watak. Dalam menghadapi musuh bersama yang satu, yang diperhitungkan bukan perbedaan di antara suku-suku bangsa itu, melainkan persamaan-persamaannya. Kesadaran itulah yang kemudian pada tahun 1928 dirumuskan dalam sebuah sumpah bersama yang sekarang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda.
Sementara itu hasil-hasil sastra Melayu yang ditulis dalam bahasa Melayu Tinggi juga bukan main banyaknya.Kesusastraan Melayu termasuk kesusastraan yang kaya di Kepulauan Nusantara. Banyak hikayat-hikayat, syair-syair, pantun-pantun, dan karya-karya sastra lain yang indah-indah dan usianya sudah berabad-abad. Hikayat si Miskin, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Indra Bangsawan, Hikayat Amir Hamzah, Syair Bidasari, Syair Ken Tambuhan, dan Sejarah Melayu ialah beberapa di antara karya-karya sastra klasik Melayu. Pengarang-pengarangnya pun tidak sedikit, terutama berasal dari lingkungan ulama dan kesultanan di Kepulauan Riau. Di antara yang paling termashur ialah Raja Ali Haji, Nurudin Ar-Raniri, Tun Sri Lanang, Hamzah Fansuri, Abdulah bin Abdulkadir Munsyi. Abdulah terkenal karena usaha-usahanya memperbaharui sastra Melayu. Yang dikisahkannya bukanklagi fantasi tentang raja-raja dan putrera-puteri yag cantik, melainkan kehidupan sehari-hari. Ia hidup pada paroh pertama abad ke-19 dan menghasilkan karya-karya yang sekarang telah menajdi klasik; antara lain Syair Singapura Terbakar (1830), Kisah Pelayaran Abdulah dari Singapura ke Kelantang (1838), Hikayat ABdulah bin abdullkadir Munsyi (1894), dan kIsah Pelayaran abdulah ke Negri Jiddah (1849). Perbedaan bangsa yang menjajah menimbulkan perbedaan-perbedaan pula dalam pertumbuhan kebudyaan, cita-cita politik dan pola pikir suku-suku bangsa yang ada di wilayah Nusantara. Meskipun demikian, penduduk wilayah-wilayah yang terangkum dalam jajahan suatu bangsa penjajah merasakan nasib dan penderitaan yang sama, sehingga perhubungan antara penduduk daerah yang semula disebut "Nederlandsch Indie" (Hindia Belanda) semakin erat. Persaan tak puas karena menjadi hamba di tanah air sendiri, menyebabkan timbulnya perlawanan berupa pemberontakan bersenjata di berbagai daerah. Memang mula-mula perlawanan-perlawanan itu bersifat sporadis, terpecah-pecah dan merupakan perlawanan suatu suku bangsa melawan orang asing. Namun saat itu yang dianggap orang "asing" itu bukan hanya kulit putih, meliankan juga semua suku bangsa lain yang berasall dari Nusanrtara juga. Hal itu memudahkan Belanda untuk mengadu domba dan politik devide et impera efektif sekali untuk mellumpuhkan perlawanan orang bumi putra terhadap penjajahan Belanda. Tapi, pada awal abad ke-20 mulailah para pemimpin dan pejuang kemerdekaan kita sadar akan kelemahan dirinya dan akan kekuatan lawannya. Maka berasal dari perasaan senasib sepenanggungan karena sama-sama hidup di bawah cengkraman penjajah yang satu, tumbuhlah kesadaran nasional. Api nsionalisme itu menghilangkan perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh karena perbedaan sejarah, lingkungan kebudyaan, bahasa, adat-istiadat, temperamen dan watak. Dalam menghadapi musuh bersama yang satu, yang diperhitungkan bukan perbedaan di antara suku-suku bangsa itu, melainkan persamaan-persamaannya. Kesadaran itulah yang kemudian pada tahun 1928 dirumuskan dalam sebuah sumpah bersama yang sekarang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda.
B.
Tokoh Sastrawan Di Daerah Kepulauan Riau
a) Gelombang
pertama pengarang di kepulauan Riau
Sejak abad ke-19, tanjung pinang tidak hanya berkembang sebagai kota
politik dan ekonomi. Lebih dari itu ia telah berkembang juga sebagai kota
budaya. Hal itu ditandai dengan munculnya tradisi intelektual, dengan sejumlah
cendekiawan yang produktif menulis, dikenal sebagai pujangga. Di sini lahir
Rusydiyahkelab, sebuah perhimpunan cendekiawan, tempat para intelektual
mendiskusikan berbagai masalah keilmuan dan melakukan penelitian. Disini lahir
pula penerbit resmi yang mempublikasikan karya-karya para pujangga. Ini
merupakan babak baru sejarah Tanjungpinang. Tokoh yang merintis tradisi
kepengarangan di Tanjungpinang adalah Raja Ahmad bin Raja Haji Fi Sabililah.
Setelah itu lahirlah pujangga-pujangga kenamaan, dari Raja Ali Haji di
pertengahan abad ke-19 sampai Aisyah Sulaiman di awal abad ke-20. Mereka adalah
gelombang pertama pengarang tanjung pinang, yang memberikan roh baru pada dunia
Melayu-Riau, bahkan dunia Melayu secara umum.
1.
RAJA AHMAD
Raja Ahmad ibni raja haji bin daeng celak lahir pada bulan Rajab 1193 H (1779)
di istana kotapiring pulau Biram Dewa Riau. Ayahnya, raja haji ibni daeng
Celak, adalah yang dipertuan muda Riau IV yang memrintah mulai bulan Desember
1778 sampai beliau wafat sebagai syahid
fisabilillah dalam pertempuaran melawan VOC di perairan teluk Ketapang
Malaka pada 18 Juni 1784. Ayahnya inilah yang dianugrahi pemerintah Indonesia
gelar Pahlawan Nasional.
Raja Ahmad Engku Haji Tua adalah pembuka jalan ke sadaran bahwa harkat
dan martabat seseorang buka lagi bergantuung kepada keturunan dan “darah” yang
mengalir ditubuh, melainkan pada keluasan dan kedalaman ilmu yang dimiliki.
Kesedaran itu beliau tanamkan kepada putra-putrinya, dengan menggesa mereka
belajar dan menyebarkan ilmu melalui tulisan-tulisan. Selain Raja Ali Haji, puterinya
yang bernama Raja Saleha juga digenal sebagai penulis, demikian pula puteranya
yang lain, Raja Daud. Arus kesadaran tersebut selanjutnya mengalir ke generasi
cucu-cucu dan cicit-cicitnya. Beliau di anggap sebagai tokoh utama yang
menjabatani transformasi peran sejarah Riau di selat Malaka khususnya, di alam
Melayu pada umumnya, dari pusat kekuasaan politik dan ekonomi abad ke-18
kepusat kekuasaan kalam(bahasa dan kebudayaan atau kecendekiawanan) abad ke-19
dan awal abad ke-20.
Sebelum Syair Raksi, Raja
Ahmad telah menulis Syair Kisah Engku
Puteri (1831), yang melukiskan pelayaran kakaknya, Enngku Puteeri Raja
Hamidah, ke Lingga untuk menjenguk saudaranya yang waktu itu sakit. Teks ini di
tulis dalam pola laporan perjalanan yang disyairkan. Beliau juga dikatakan
menulis syair perang johor (1843/1844) yang membentangkan fragmen-fragmen peperangan
antara Johor dengan Aceh pada abad ke-17, peperangan antara Malaka dengan
Belanda pada tahun 1640, dan kisah perjalanan utusan Johor ke Patani. Beliau
sendiri dianggap sebagai penulis awal kitab sejarah Tuhfat al-Nafis, yang kemudian di perluas dan di perdalam oleh
puteranya, Raja Ali Haji.
Syair Raksi sendiri
beliau tulis pada tahun 1841. Fasal pertama syair ini menggambarkan cara untuk
meneroka keserasian perkawinan sepasang laki-laki dan perempuan dengan
menghitung jumlah angka perkalian huruf-huruf pada nama laki-laki dan perempuan
itu. Kemudian masing-masing di bagi Sembilan. Sis pembagian itu di
perbandingkan. Lalu pasangan-pasangan angka perbandingan itu dijelaskan serasi
atau tidaknya. Bagian kedua, mengenai “syara” hari bulan”, yaitu hari-hari baik
dan buruk dalam sebulan untuk melakukan pekerjaan tertentu. Bagian ketiga
berisikan nasihat menuntut ilmu. Bagian keempat, keempat, tentang kesusahan
hidup orang yang berhutang. Bagian kelima, keterpujian hidup orang yang tidak
berhutang dan tidak berdusta. Sedangkan bagian keenam berisi tunjuk-ajar kepada
seseorang bila hendak berjumpa dengan orang lain.
Raja Ahmad Engku Haji Tua diperkirakan wafat pada tahun 1878, dalam usia
sekitar seratus tahun. Makamnya berada di samping makam anaknya, Raja Ali Haji
di kompleks makam Engku Puteri Raja Hamidah di pulau penyengat.
2.
RAJA ALI HAJI
Raja
Ali Haji (RAH) dilahirkan di Pulau Penyengat (sekarang masuk wilayah Kepulauan
Riau, Indonesia) pada tahun 1808 dari ayah bernama Raja Ahmad (bergelar Engku
Haji Tua) dan seorang ibu bernama Encik Hamidah binti Panglima Malik Selangor.
Raja Ali Haji adalah cucu dari Raja Haji Fisabilillah Yang
Dipertuan IV dari Kerajaan Riau-Lingga
dan merupakan keturunan bangsawan Bugis. Raja Ali
Haji memiliki beberapa saudara laki-laki dan perempuan dari ayah yang sama,
yaitu Raja Haji Daud (sulung), Raja Endut alias Raja Umar, Raja Salehah, Raja
Cik, Raja Aisyah, Raja Abdullah, Raja Ishak, Raja Muhammad, Raja Abu Bakar, dan
Raja Siti (bungsu). Keluarga Raja Ahmad ini termasuk
orang-orang yang gemar menulis. Sebagai sastrawan, Raja Ahmad pernah
menghasilkan setidaknya tiga buah karya yaitu Syair Engku Putri, Syair
Perang Johor dan Syair Raksi. Darah sastrawan yang ada pada diri Raja Ahmad tersebut tumbuh dan
berkembang lebih besar pada diri Raja Ali Haji.
Raja Ali Haji adalah pengarang Melayu abad ke-19 yang termasyhur, lahir
di pulau Penyengat Inderasakti pada tahun 1809, dari perkawinan Raja Ahmad ibni
Raja Haji Fi Sabilillah dengan seorang puteri Selangor bernama Hamidah. Beliau
wafat di pulau yang sama, di perkirakan pada tahun 1873. Makamnnya berada
dikomplek makam Engku Puteri Raja Hamidah pulau Penyengat, berdampingan dengan
makam ayahnya. Pada tahun 2006, pemerintah Republik Indonesia menganugrahinya
gelar pahlawan Nasional karena jasa-jasanya di bidang bahasa dan kebudayaan.
Sejak kanak-kanak, Raja Ali Haji
mendapat pendidikan di lingkungan istana kerajaan Penyengat dari para ulama
yang datang dari berbagai negeri untuk mengajarkan Islam. Untuk menambah
wawasan, Raja Ali Haji seringkali mengikuti perjalanan ayahnya ke berbagai
daerah untuk berdagang, termasuk perjalanan pergi haji. Tahun 1822 ia bersama
sang ayah pergi ke Betawi menjumpai Gubernur Jendral Baron van der Capellen.
Saat itu, ia sempat menonton “Komidi Holanda” di “Schouwbrurg” (sekarang Gedung
Kesenian Jakarta). Tahun 1826, bersama sang ayah ia berniaga ke pulau Jawa dan
sempat bertemu dengan Residen Jepara D.W. Punket van Haak. Sekitar tahun 1827,
Raja Ali Haji bersama ayahnya menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kemudian tinggal
di sana selama setahun untuk memperluas pengetahuan agama. Di Mekah, ia sempat
belajar beberapa bidang keislaman dan ilmu bahasa Arab pada Syeikh Daud bin
Abdullah Al-Fatani.
Berbekal pengembaraan intelektual
dan pengalaman yang telah dilaluinya, Raja Ali Haji tumbuh menjadi pemuda
berwawasan luas. Meskipun usianya masih muda, ia sudah dikenal sebagai seorang
ulama yang seringkali diminta fatwanya oleh pihak kerajaan. Pada tahun
1845, Raja Ali bin Raja Jafar diangkat menjadi Yamtuan Muda, dan Raja Ali Haji
dikukuhkan sebagai penasehat keagamaan negara. Pada tahun 1858, Yang Dipertuan
Muda Riau IX Raja Abdullah Mursyid mangkat, maka Raja Ali Haji diberi amanat
untuk mengambil alih segala urusan hukum yaitu semua urusan yang menyangkut
jurisprudensi Islam. Meskipun ia memiliki posisi penting di pemerintahan
Kerajaan Riau-Lingga, hal itu tak membuat produktivitasnya dalam menulis
menjadi surut. Begitu piawainya ia
menulis dan merangkai kata-kata, sehingga hasil karyanya meliputi berbagai
bidang bahasan, seperti keagamaan, kesusastraan Melayu, politik, sejarah,
filsafat, dan juga hukum. Lewat karya-karya tersebut, Raja Ali di bidang
pembinaan umat serta penerbitan buku-buku Islami.
Sebagai cendekiawan, Raja Ali Haji memiliki bakat yang beragam,
sebagaimana terlihat dari keanekaan topikkarangan yang beliau wariskan dan
peran kesejahtraan yang dimainkannya dalam lingkungan karajaan Riau-Lingga
samasa. Beliau menulis gurindam dan sejumlah syair, kitab-kitab kebahasaan
(tatabahasa dan kamus), kepemimpinan, sejarah, yang semuanya dianggap memiliki
keunggulan-keunggulan khusus dalam sejarah tradisi alam Melayu. Haji membuktikan dirinya
tidak hanya sekadar sejarawan, tapi juga seorang ulama, pujangga, dan sastrawan
yang memiliki komitmen memelihara nilai keislaman serta rasa tanggung jawab
terhadap masyarakat. Ia dikenal sebagai pencatat pertama dasar-dasar tata
bahasa Melayu lewat karyanya Pengetahuan
Bahasa
yang menjadi standar bahasa Melayu yang kemudian dalam Kongres Pemuda Indonesia
28 Oktober 1928 ditetapkan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia. Ia juga
dikenal sebagai sejarawan lewat karya monumentalnya berjudul Tuhfat al-Nafis, dan sebagai sastrawan lewat
karyanya Gurindam Duabelas. Raja Ali Haji wafat pada
tahun 1873 dan dimakamkan di Pulau Penyengat, tepatnya di kompleks pemakaman
Engku Putri Raja Hamida. Untuk melestarikan karya-karyanya, pada awal tahun
1890, segenap sanak keluarganya mendirikan perkumpulan bernama Rusdyiah Club yang bergerak
Sebagai sosok ulama dan
kalangan elit kerajaan, pemikiran Raja Ali Haji lebih banyak berkisar pada
upaya restorasi kerajaan dan tradisi Melayu pada masa itu. Pemikiran tersebut,
sebagian besar tertuang dalam berbagai karyanya. Dalam Tuhfat al-Nafis, disebutkan bahwa
suasana Melayu telah memasuki masa modern dan kolonialisme, dimana masyarakat
Melayu tengah menghadapi perubahan-perubahan di bidang sosial dan budaya. Maka
Raja Ali Haji tampil sebagai seorang askar kerajaan untuk menjaga keberlangsungan tradisi
dan budaya Melayu. Pemikiran Raja Ali Haji dinyatakan melalui himbauan moral
yang ditujukan kepada elit kerajaan yang berkuasa, agar melaksanakan kekuasaan
mereka berdasarkan nilai dan norma islami.
Dalam Tsamarat al-Muhimmah, Raja Ali Haji juga
menegaskan bahwa prasyarat untuk menjadi seorang raja dan elit kekuasaan,
yaitu: harus beriman, cakap, adil, bijaksana, serta syarat-syarat lain yang
menjadi kriteria konsep penguasa ideal. Baginya, kerajaan merupakan sistem
politik yang tepat untuk membangun masyarakat Melayu. Oleh karena itu,
kedudukan raja sangat penting dalam pembentukan kehidupan sosial-keagamaan
kerajaan dan masyarakat. Bahkan pada salah satu pembahasannya, ia
mengetengahkan kritik pedas terhadap perilaku politik raja-raja Melayu yang
dinilai telah menyimpang dari nilai-nilai Islam. Dalam hal ini, ia menunjuk
pada konflik politik antara Sultan Mahmud dan Raja Indra Bungsu, yang berujung
pada terjadinya kerusuhan pada tahun 1787. Menurut Raja Ali Haji, kasus ini
merupakan bukti bahwa ajaran Islam, khususnya pengendalian hawa nafsu, telah
terabaikan dalam kehidupan politik raja-raja Melayu. Dalam pemikiran-pemikiran
yang dilontarkan, Raja Ali Haji berusaha membangun kembali supremasi politik
kerajaan Melayu sebagai satu bangunan sosial-politik bagi masyarakat Melayu.
Pemikiran Raja Ali Haji
tersebut banyak berpengaruh pada masyarakat Melayu, khususnya para seniman dan
budayawan di daerah Sumatera, Jawa, Malaysia, Singapura, Brunei, bahkan sampai
ke Belanda.
a) Karya-karya
Sebagai sosok ulama,
pujangga, sejarawan dan budayawan, Raja Ali Haji telah banyak melahirkan karya
berupa naskah dan cetakan dalam huruf Arab, antara lain:
·
Bustan
al-Katibin Li al-Subyan al-Mutaallimin, Yayasan Kebudayaan Indera Sakti Pulau Penyengat, (tahun 1983)
·
Kitab
Pengetahuan Bahasa, diterbitkan oleh
Al-Mathba at Al-Ahmadiyah/Al-Ahmadiah Press, Singapura (tahun 1345 AH).
·
Syiar
Hoekoem Nikah,
·
Syair
Siti Shianah Shahib al-Ulum wa al-Amanah, Yayasan Kebudayaan Indera Sakti Pulau Penyengat (tahun 1983).
·
Gurindam
Dua Belas dan terjemahannya dalam
bahasa Belanda oleh E. Netscher De Twaalf Spreukgedichten, diterbitkan oleh
Tijdschrift van het Bataviaasch Genootschap II, Batavia (tahun 1854).
·
Muqaddimah
Fi Intizam al-Wazaif al-Mulk, diterbitkan oleh Pejabat Kerajaan Lingga (tahun 1304 AH).
·
Tsamarat
al-Muhimmah, diterbitkan oleh
Pejabat Kerajaan Lingga (tahun 1304 AH).
·
Sinar
Gemala Mestika Alam, diterbitkan oleh
Mathba at Al-Riauwiyah, Pulau Penyengat (tahun 1313 AH).
·
Silsilah
Melayu dan Bugis, diterbitkan oleh
Al-Imam, Singapura (tahun 1911).
·
Suluh
Pegawai, diterbitkan oleh
Mathba at Al-Ahmadiah, Singapura (tahun 1342 AH).
·
Siti
Shianah, diterbitkan oleh Mahtha
at Al-Ahmadiah/Al-Ahmadiah Press, Singapura (tahun 1923).
·
Tuhfat
Al-Nafis, diterjemahkan oleh R.O
Winstedt dan diterbitkan oleh The Malayan Branch of Royal Asiatic Society,
Singapura (tahun 1932).
·
Syair
Abdul Muluk, Singapura.
Selain karya-karya tersebut di atas, Raja Ali
Haji juga memiliki karya yang dicetak dalam huruf Latin, antara
lain:
·
E. Netscher, De
twaalf spreukgedichten; Een Maleisch gedicht door Radja Ali Hasji van Riouw,
uitgegeven en van de vertaling en aanteekeningen voorzien, Tijdschbrift
voor indische Taal-, Land-en Volkenkunde 2 : 11-32 (tahun 1854).
·
Bustanu
al-Katibin, diterjemahkan oleh H.
Von de Wall, Boekbeoordeling door H von de Wall: Kitab Perkeboenan bagi
kanak-kanak jang hendak menoentoet berladjar akan dija, Tjidschrift voor
Indische Taal-, Landen Volekenkunde (tahun 1870).
·
Tuhfat
Al-Nafis, diterjemahkan oleh
Encik Munir bin Ali, Malaysian Publication Ltd., Singapura (tahun 1965).
·
The
Precious Gift (Tuhfat al-Nafis), diterjemahkan oleh Virginia Matheson & Barbara Watson Andaya,
Oxford University Press, Kuala Lumpur (tahun 1982).
·
Tuhfat
Al-Nafis: Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji, diterjemahkan oleh Virginia Matheson, Fajar Bakti, Petaling Jaya
(tahun 1982).
·
Gurindam
Dua Belas, dalam Abdul Hadi W.M.,
Sastra Sufi; Sebuah Antologi, Pustaka Firdaus, Jakarta (tahun 1985).
·
Kitab
Pengetahuan Bahasa, diterjemahkan oleh R.
Hamzah Yunus, Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Pekanbaru (tahun 198-1987).
·
Syair
Abdul Muluk, Balai Poestaka,
Batavia, (tanpa tahun).
·
Syair
Abdul Muluk, diterjemahkan oleh
Siti Syamsiar, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pekanbaru (tahun
1988-1989).
·
Tuhfat
al-Nafis, Virginia Matheson
Hooker, Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur
(tahun 1991).
·
Syair
Suluh Pegawai, Al-Mathba ah al-Ahmadiyah/al-Ahmadiah
Press, Singapura (17 Rabiul Awal 1342 AH/1923).
·
Penyair
dan Tuan Puteri, dalam Berkala Sastra Menyimak,
terbitan ketiga 28 April – 28 Juli, Pekanbaru (tahun 1993).
b) Penghargaan
Raja
Ali Haji dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional, atas karyanya Kitab
Pedoman Bahasa yang ditetapkan sebagai Bahasa Nasional, Bahasa Indonesia,
dari Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (10 November 2004).
3.
HAJI IBRAHIM
Haji Ibrahim atau datuk kaya muda, adalah
pengarang Melayu yang hidup sezaman dengan Raja Ali Haji. Ia adalah putera
datuk syahbandar Abdullah , seorang keturunan bugis dari kalangan rakyat biasa
(bukan bangsawan) yang berhasil masuk dalam kelompok elit kekuasaan Riau-Lingga
sebagai syahbandar. Setelah kekuasaan atas pelabuhan-pelabuhan di Riau
berpindah ketangan pemerintahan Hindia-Belanda, Datuk syahbandar Abdullah
ditugaskan oleh yang dipertuan muda Riau-Lingga sebagai panglima dalam.
Tuhfat
al-Nafis pertama kali
menyebutkan namanya sebagai seorang yang ikut dalam pelayaran delegasi Riau ke
trengganu untuk menemui sultan Abdul
Rahman, pada tahun 1823, pada waktu itu namanya masih disebut Encik Ibrahim,
dan diperkirakan berusia belasan tahun, hamper sebaya dengan Raja Ali Haji.
Encik Ibrahim menunaikan fardhu haji pada tahun
1830-an, dan sejak itu gelas haji konsisten dicantumkan olehnya maupun orang
lain ketika menulis namanya. Sepulang dari mekkah, pada tahun-tahun 1830-an
itu, Haji Ibrahim banyak terlibat dengan urusan-urusan politik, menjadi utusan
kerajaan Riau-Lingga kadang-kadang bersama ayahnya, kadang-kadang tidak. Pada
tahun-tahun 1850-an, Haji Ibrahim menjadi jurutulis pribadi Yang Di Pertuan
Muda, dan dari jabatannya itulah beliau mendapat gelar kehormatan : orang kaya
muda; gelar yang selalu pula melekat setelah nama dirinya. Walaupu sudah
bergelar orang (Datuk) kaya muda, kedudukan sosial Haji Ibrahim tetap saja
berada di bawah kedudukan sosial para bangsawan yang bergelar ”Raja”, meskipun
tidak serendah orang kebanyakan.
Pada tahun 1867, Raja Ali Haji dan Haji Ibrahim
(bersama anaknya Abdullah) bekerja sama menyalin sekaligus menyunting
naskah-naskah, seperti Hikayat kurais dan
Hikayat Golam. Belia juga menulis
karyanya sendiri, Cakap-calap Rampai-rampai
Bahasa Melayu Johor (jilid I di terbitkan oleh percetakan Gubernemen di
Batavia pada tahun 1868; jilid II,terbit di percetakan yang sama pada
tahun 1872). Kedua jilid buku ini
sebagian besar berkisah tentang kehidupan orang-orang biasa dan kepercayaannya,
dalam bentuk percakapan dua atau lebih tokoh. Misalnya, tentang bermain gasing,
mengambil kuli, percakapan dua orang penjudi, perniagaan, percakapan tukang
kayu, percakapan tukang, orang gila, tukang perahu, dan lain-lain. Karyanya
yang lain, Pantu-pantun Melayu (terbitan
W. Bruining, Batavia, 1877). Buku ini merupakan dokumen pertama yang secara
khusus merayakan seni lisan pantun ke dalam bentuk tulis. Sebelumnya, beberapa
pantun memang sudah memasuki jaring tradisi tuli, tetapi sifatnya hanyalah
“perencah” bagi retorika naratif kesejarahan (seperti dalam sulalatus Salathin, dan Hikayat Hang Tuah) dan sejumlah syair
serta hikayat-hikayat Melayua. Beda dengan perlakuan Haji Ibrahim: bukunya ini memang seutuhnya
menghidangkan pawai pantun,, dan membiarkan pantun-pantun itu sendiri
memperdengarkan suaranya kepada pembaca. Haji Ibrahim juga mewariskan dua buah
syair, Syair Raja Damsyik (1864) dan Syair Sidi Ibrahim bin Khasib (1865). Syair Raja Damsyik digubah oleh Haji Ibrahim
berdasarkan Hikayat Damsyik (Prosa).
Perubahan dari naratif –prosaik ke naratif –puitik ini adalah bagian dari
keunggulan para penulis penyengat abad ke-19. Pembaca yang sempat membandingkan
kedua karya ini akan segera mengenali sejumlah perbedaan pentinng antara kedua
teks tersebut, selain perbedaan bentuknya. Karya-karya yang diwariskannya pun
mempertegas kedudukan haji ibrahaim sebagai penulis , pengarang, atau
cendekiawan yang memiliki “sidik-jari” (kekhasan)-nya sendiri. Beliau, bersama
Raja Ali Haji (serta pengarang yang semasa dengannya), dengan demikian
sekumpulan orang yang pada zamannya telah berkolaborasi memainkan orkestrasi
kecendekiawanan yang berjatidiri.
4.
RAJA DAUD
Raja Daud atau Raja Haji Daud adalah adik
seayah Raja Ali Haji, lahir dari perkawinan Raja Ahmad ibni Raja Haji dengan
Encik Fatimah. Beliau dikenal sebagai tabib terkemuka di kerajaan Riau-Lingga,
dan dalam bidang perobatan ini beliau mewariskan buku berjudul Asal Ilmu Tabib (alihaksaranya, lihat UU
Hamidy dkk, Naskah kuno Daerah Riau, IDKD Daerah Riau, 1982/1983). Sebagaimana
dinyatakan Raja Ali Haji dalam suratnya bertarikh 10 syawal 1286 H (13 Januari
1870), Raja Daud sebenarnya juga mewariskan sebuah tulisan tentang hisabgerhana
bulan namun tidak diketahui apa bentuk dan tulisannya itu. Selain buku dan
tulisan itu, pada tahun 1870 Raja Daud menulis sebuah syair tentang syarif
Hasyim ibni Said Muhammad Zain al-Qudsi. Karena ibunya, Syarifah Halimah,
adalah cucu Daeng Celak, maka syarif Hasyim masih tergolong kerabat dekat bangsawan
penyengat juga. Pada tahun-tahun 1850-an Syarif Hasyim pindah ke borneo
(Kalimantan). Di Kalimantan, ia bekerja pada pemerintah Hindia-Belanda, dan
ikut dalam perang Banjarmasin pada tahun 1850-1863. Keterlibatannya dalam
perang itu direkamnya dalm catatan, dan berdasarkan catatan harian itulah Raja
Daud menuliskan syair yang membawa namanya ke dalam senarai nama-nama pengarang
sastra melayu Riau-Lingga abad ke-19. Syair yang ditulis Raja Daud ini
diidentifikasi dalam beberapa judul; ada yang menyebutkannya Syair Peperangan Syarif Hasyim (Hasan
yunus, 2002:88) ada pula yang menuliskannya dalam judul syair pangeran syarif hasyim al-Qudsi (Arena Wati, 1989). Sedangkan
saudaranya, Raja Ali Haji, menyebutkan Syair
Siarah Said Qasim.
Pengarang/penulis/penyalin dalam tradisi sastra
istana Melayu, bagaimanapun juga, masih tetap bisa dianggap sebagai individu
pencipta, dalam arti”mengadakan” yang “tiada”, walaupun keberadaan–keberadaan
tekstual itu lebih ditentukan oleh kehendak orang lain. Namun, dalam konteks
penulisan Syair Peperangan Syarif Hasyim,
Raja Daud berbeda dengan para pendahulunya itu. Raja Daud besama
saudara-saudaranya adalah orang-orang yang lahir dan di besarkan dalam suasana
yang jauh berbeda dengan lingkungan istana Melayu abad-abad sebelumnya. Agama
islam dan bentuk serta tujuan pendidikan yang dibawanya, bersama kanyataan
status dan kekuasaan politik kerajaan Riau-Lingga yang merosot, telah membawa
kesadaran baru pada anak-anak penyengat semasa tentang kemuliaan: dari ranah
komunal (kebangsawanan darah) ke ranah individual (kebangsawanan ilmu).
Mengarang/menulis/menyalin mestinya bukan lagi merupakan penunaiantitah-perintah,
tetapi didorong oleh kehendak pribadi dan hasilnya dilihat sebagai prestasi.
Oleh Karena itu, penulis Syair Peperanagn
syarif Hasyim yang didasarkan catatan pribadi tokoh yang dikisahkannya,
mungkin dapat dijadikan satu lagi contoh yang menegaskan tanda-tanda bahwa
menyair di masa itu sudah berkembang menjadi sebuah keterampilan yang mirip
dengan pertukangan.
Tugas kepengarangan secara tersirat ditunjukkan
oleh Raja Daud melalui penulisan Syair
Peperanagn syarif Hasyim pun bukanlah berada di dalam kehendak dan peroalan
“mengadakan” yang “tiada”, tetapi mengalih-bentuk sebuah kenyataan tekstual
yang sudah ada. Dan memang, alih bentuk teks dari prosa ke syair seperti itu
cukup biasa dilakukan para penulis penyangat. Haji Ibrahim, yang kurang-lebih hidup
sezaman dengan Raja Daud pun, mengalih
bentuk prosa Hikayat Damsyik ke dalam
Syair Raja Damsyik (meski kalau
dibandingkan, dalam banyak hal kedua teks itu memperlihatkan
perbedaan-perbedaan yang penting.)
5.
RAJA HASAN
Raja Hasan adalah putra Raja Ali Haji (dari istri keduanya , Halimah binti Raja
Jakfar Yang Di Pertuan Muda Riau VI). Pada tahun 1858, Raja Hasan menikah
dengan Raja Maimunah binti Raja Haji Abdullah Yang Dipertuan Muda Riau IX.
Beberapa puteranya adalah penerus garis kecendekiawanan yang dipancangkan
kakeknya (Raja Ali Haji Ibni Raja Ahmad). Misalnya, Raja Haji Abdullah (Abu
Muhammad Adanan) ibni Raja Hasan, hakim kerajaan yang juga pengarang Syair Seribu Satu Hari, Syair Syahinsyah,
Pembuka lidah dengan teladan yang muda; atau, Raja Khalid Hitam ibni raja hasan salah satu penggerak
perkumpulan cendekiawan Rusyidiah Kelab, yang mengarang Syair perjalanan Sultan Lingga dan yang dipertuan muda Riau ke
Singapura dan Tsamarat al-mutahlub fi
Anwar-I al-Qulub; Raja Ahmad ibni Hasan, tabib kerajaan, mengarang Syair Nasihat Pengajaran Memelihara Diri,
Syair Raksi Macam Baru, Syair Dalail al-Ihsan, dan lain-lain; serta Raja
Umar bin Raja Hasan, yang menarang buku Ibu
Di Dalam Rumah Tangga.
Selain beberapa puteranya yang cemerlang di
zamannya, Raja Hasan mewariskan kepada kita sebuah syair yang berjudul Syair Burung. Ada beberapa naskan yang
menggunakan judul ini, dua diantaranya terdapat diperpustakaan Universitas
Leiden, dengan nomor koleksi KL. (Klinkert) 171 dan KL. 177. Padea naskah KL.
171 ada catatan: opgesteld door Radja
Hasan zoon van Radja Ali Hadji van Penjingat in 1859 (di karang oleh Raja
Hasan anak Raja Ali Haji dari penyengat, pada tahun 1859). Catatan yang dimuat
dalam buku Supplement-Catalogus der
Maleischen en Minangkabausche handschrifte
(Van Ronkel 1921:90) inilah rujukan awal yang umum digunakan untuk
menengaskan bahwa syair itu ditulis oleh Raja Hasan.
Syair
Burung berisi kisahan pembicaraan
burung-burung tentang hukum islam dalam bentuk Tanya-jawab. Lebih 25 jenis
burung yang terlibat dalam pembicaraan itu (mulai dari burung Bayan samapai
burung Tekukur), dan yang paling bijak adalah burung Nuri sebagai symbol nur
Muhammad. Abu Hassan Sham (dalam bukunya, Syair-syair
Melayu Riau, halaman 137-139) menyatakan syair ini dipengaruhi oleh Mantiq
al-Tayr Farid al-Din ‘Attar dan syair si
burung pingai Hamzah Fansuri yang juga menggunakan tokoh-tokoh burung untuk
mem-bentangkan pengembaraan sufistik mereka dalam mencari singgahan tuhan.
Publikasi tertua syair ini dalam bentuk tercetak, mungkin adalah yang dilakukan
pada awal tahun 1869. Keterangan tentang itu terdapat dalam surat Raja Ali Haji
kepada Von de Wall, bertarikh 26 Zulkaidah 1285 (10 Maret 1869): “Syahdan
adalah kita menyatakan kepada paduka sahabat kita, ini ada satu Syair Burung di
cetak oleh saudara kita, akan tetapi belum lagi tamat, hanyalah seoparuh
sahaja. Namun dokumentercetak itu belum dapat ditelusuri, kareana ketiadaan
keterangan lain mengenainya. Kemudian, pada tahun 1978, Jumsari Jusuf dan
kawan-kawan menerbitkan alih aksaranya dengan judul “Syair Unggas Beroal-Jawab” dalam buku Antologi Syair Simbolik dalam Sastra Indonesia Lama (Jakarta:
dipdikbud RI, Bagian IV, halaman 101-125). Naskah yang dialihaksara adalah
naskah bebas koleksi Von de Wall, bernomor katalog W 268b, yang kini disimpan
di perustakaann Nasional RI. Menurut suatu sumber, Raja Hasan ibni Raja Ali
Haji wafat di Mekkah pada tahun 1882.
6.
KHALID HITAM
Nama asli dan lengkapnya Raja Khalid bin Raja
Hasan. Walaupu begitu, beliau juga dikenal dengan nama Khalid Hitam. Raja
Hasan, ayahndanya, adalah putera Raja
Ali Haji. Dengan demikian, beliau adalah cucunda Raja Ali Haji. Beliau jiga
biasa di sapa dengan nama Hitam Khalid, Raja Khalid Hitam Al-Riawi, Raja Khalid
Al-hitami, Raja Khalid ibni Raja Hasan Al-Haji ibni Raja Ali Haji, dan Raja
Khalid Hitam ibni Raja Haji Hasan. Setakat ini tak dapat dipastikan tarikh
kelahiran Khalid Hitam. Hanya beliau dipastikan meninggal di salah satu rumah
sakit Tokyo Jepang, pada 11 Maret 1914, dalam misi politik bilateral untuk
menyelamatkan negaranya.
Raja Khalid menikah dengan sepupunya, yang juga
keteurunan bangsawan kerajaan Riau-Lingga bahkan juga cucunda Raja Ali Haji,
Raja Aisyah binti Raja Sulaiman. Istri beliau adalah pengarang ternama yang
lebih dikenal sapaan Aisayah Sulaiman. Dengan demikian, kedua orang
bersuami-istri itu merupakan pasangan dan keluarga pengarang. Kenyataan itu
juga membuktikan bahwa di kerajaan Riau-Lingga profesi pengarang sangat
dihormati dan dimuliakan atau pekerjaan yang bergengsi. Itulah sebabnya, banyak
kalangan keluarga Diraja Riau-Lingga melibatkan diri kedalam pekerjaan
terhormat itu.
Sebagai politis yang sangat menentang
pemerintah colonial Belanda, begitu kerajaan Riau-Lingga jatuh ke tangan musuh,
Khalid Hitam tak mau lagi tinggal di tanah kelahiranya, palau penyengat
inderasakti. Jika tetap ditanah kelahiran, beliau harus mengakui keabsahan
pemerintah Hindia-Belanda di tanah tumpah daranya. Raja Khalid tak merelakan
dirinya dan keluarganya menanggung aib seperti itu, menjadi anak jajahan di
negeri sendiri. Dengan memegang identitas itulah, Raja Khalid bin Raja Hasan
berpindah kesingapur bersama keluarganya. Sungapura suatu masa dahulu memang
berada di bawah kekuasaan kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang dan pada saat yang
sama rajanya tak dimakzulkan walaupun dibawah pemerintahan inggris. Lagi pula,
Khalid Hitam memiliki siasat lain yaitu berkunjung ke jepang untuk meminta
bantuan menumpaskan penjajahan Belanda melalui Singapura. Malangnya, pada misi
terakhirnya, 1914, beliau wafat di negeri orang Jepang.
Sebagai suami, Raja Khalid bin Raja Hasan
menjadi inspirasi dan sangat dicintai oleh istrinya, Raja Aisyah Sulaiman,
dalam berkarya. Kehidupan rumah tangga mereka disamarkan Aisyah Sulaiman dalam
karya-karyanya. Oleh sebab itu, tak heran ada pengamat yang berpendapat bahwa
karya Aisyah Sulaiman sesungguhnya biografi yang ditulis secara tersamar dalam
bentuk hikayat dan syair serta telah menonjolkan individualitas. Selain sebagai politikus ulung, Khalid Hitam
juga dikenal sebagai seorang pengarang, sama halnya dengan istrinya tercinta.
Dalam kapasitasnya sebagai pengarang, beliau diketahui telah mengahasilkan tiga
buah karya. Dua diantara karya itu merupakan karya sastra, yaitu (1) Syair Perjalanan Sultan Lingga dan Yang
Dipertuan Muda Riau Pergi Ke Singapura dan Syair Peri Keindahan Istana Sultan Johor Yang Amat Elok. Kedua karya itu diterbitkan oleh Mathba’at
al-Riauwiyah, pulau Penyengat Inserasakti. Saru lagi karya beliau adalah Tsamarat al-Mathlub Fi Anwar al-Qulub. Karya
yang disebut terakhir itu selesai ditulisnya pada tahun 1896. Dengan
memperhatikan karya-karyanya, jelaslah bahwa Khalid Hitam merupakan pengarang
di pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20. Beliau terbukti sebagai seorang
lagi bangsawan Melayu Riau-Lingga yang menambah rancak dan semaraknya
kepengarangan sastra dan aktivitas intelektual di dunia Melayu di kala itu.
7.
ABU MUHAMMAD ADNAN
Abu Muhammad Adnan bukanlah nama sebanarnya.
Itu adalah nama pena beliau. Nama aslinya adalah Raja Haji Abdullah ibni Raja
Hasan ibni Raja Ali Haji. Dengan demikian,
Abu Muhammad adnan adalah cucunda Raja Ali Haji dan putra Raja Hasan,
yang juga seorang pengarang. Nama Muhammad adnan di gunakanya sebagai nama pena
untuk mengenang ananda sulungnya, yang meninggal pada usia yang masih sangat
muda. Dia juga dikenal dengan sapaan Engku Haji Lah. Selain sebagai pengarang,
abu Muhammad Adnan juga adalah Hakim Mahkamah Kerajaan Riau-Lingga. Tak di
ketahui pasti tarikh kelahiran Abu Muhammad Adnan. Adapun wafatnya, dapat
dipastikan beliau meninggal pada 1926.
Beliau beristri dua orang, yaitu Salamah binti
Ambar dan Khadijah terung. Kedua istri Abu Muhammad Adnan itu juga pengarang.
Sebagai seniman, Raja Haji Abdullah tak hanya dikenal sebagai sastrawan. Beliau
juga memiliki keahlian dalam bidang seni lukis dan seni patung. Abu Muhammad
Adnan merupakan pengarang yang memiliki bacaan yang sangat luas . perpustakaan
pribadinya di lengkapi dengan buku-buku yang berbahasa Melayu, Arab, dan
Prancis. Beliau juga rajin menulis kalimat-kalimat berhikmah di buku-buku karya
asli dan atau terjemahnya. Di antara kalimat yang pernah ditulisnya berbunyi, “Apabila
diarahkan dengan jitu, al-khayalan akan merangsang pikiran sehingga hasilnya
pun akan menjadi berfaedah, bermanfaat, bermakna.” Dengan demikian, jelaslah
bahwa Abu Muhammad Adnan menganggap bahwa imajinasi (khayalan) sangat penting
bagi tumbuh dan berkembangnya inovasi dan kreativitas.
Selain menulis karya sastra, asli, dan
terjemahan, Abu Muhammad Adnan juga menulis buku pelajaran bahasa Melayu. Di
antara bukunya dalam bidang bahasa ialah (1)
Pembuka Lidah Dengan Teladan
Umpama Yang Mudah (2) Penolong Bagi Yang Menuntut Akan Pengetahuan Yang Patut, dan
(3) Pembukaan Bagi Yang Berkehendak
Dengan Huraian Yang pandak. Dalam bidang kesusastraan, karya-karya beliau
yang dapat dikitahui adalah hikayat tanah
suci (1924), kutipan mutiara, syair syahinsyah (1922), Ghayat al-Manu, dan Seribu Satu Hari (1919).
8.
RAJA ALI KELANA
Nama dirinya adalah Raja Ali ibni Raja Muhammad
Yusuf al-Ahmadi. “kelana” yang sering diletakkan orang pada akhir nama
batang-butuhnya merupakan jabatan yang menunjukkan bahwa beliau calon yang di
pertuan muda Riau-Lingga. Setelah ayahandanya, yang dipertuan muda riau X Raja Muhammad Yusuf al-ahmadi berpulang di
Lingga pada tahun 1988, Raja Ali Kelana seharusnya dilantik sebagai yang di
pertuan muda Riau XI. Namun jabatan tertinggi di hirarki kekuasaan penerintahan
kerajaan Riau-Lingga itu tidak sempat ia duduki, karena meningkatnya konflik
politik antara kerajaan dengan pemerintahan Hindia-Belanda. Konflik itu
berpuncak pada pembubaran kerajaan Riau-Lingga melaluui surat pemakzulan Sultan
Abdul Rahman al-Mu’azzamsyah dan Tengku Besar Umar pada 11Februari 1911. Dua
tahun setelah pemakzulan itu, 1913, pemerintah Hindia-Belanda membubarkan
kerajaan Riau-Lingga.
Raja Ali Kelana adalah salah satu pilar
Rusyidah Kelab, sebuah perkumpulan cendekiawan yang didirikan di penyengat pada
tahun 1885. Sebagai layaknya perkumpulan cendekiawan modern, Rusyidah kelab
menggalakkan kegiatan-kegiatan pendidikan dan kebudayaan, di samping berperan
sebagai kelompok penekan untuk mengawal politik kerajaan tetap berada di jalur
yang benar.
Teras pemikiran dan perjuangan perkumpulan ini
ialah “Melayu-Islami”, yang dicerminkan melalui perlembagaan politik berbentuk
kerajaan, beragama islam, beradat-istiadat dan berbahasa Melayu. Untuk mengawa perwujudan cita-cita itu, sejumlah
anggotanya bergerak membangun lembaga-lembaga ekonomi. Raja Ali Kelana sendiri
memiliki perusahaan pengolahan batu bata di pulau Batam, yang runtuh pada tahun
yang sama dengan pemakzulan Sultan Riau-Lingga, 1911. Idiologi dan gerakan
perkumpulan ini memang menjadi ancaman serius terhadap hegemoni Belanda
Riau-Lingga.
Kecendekiawanan Raja Ali Kelana tidak lepas
dari pendidikan dan lingkungan islam pulau Penyengat yang di bina di masa-masa
moyang dan kakeknya telah terbentuk, dan kegiatan kebahasaan serta kebudayaan
berkembang subur, menyambut anak-anak negeri sejak lahir, dan menyemaikan
benih-benih kecendekiawanan pada mereka pada masa kanak-kanak. Konon, selain di
Riau, Raja Ali Kelana juga memperdalam islam dan pengetahuan lain di Mekkah,
dibimbing oleh ulama-ulama terkemuka seperti Syakh Ahmad al-Fathani, Sayid
Abdullah al-Zawawi, dan lain-lain. Itu dilakukanya ketika singgah di Mekkah,
sebelum ke Mesir untuk menjalankanya ketika singgah di Mekkah, sebelum ke Mesir
untuk menjalankan misi kerajaan. Selesai menunaikan fardhu haji tahun 1950, Raja Ali Kelana menerima ba’iat
Thariqat Naqusyabandiyah, dan setelah itulah beliau mendapat gelar al-Ahmadi
(sama dengan gelar ayahnya). Selain ketimur tengah, Raja Ali Kelana juga
mengunjungi Turki Usmaniyah untuk urusan politik kerajaan, pada tahun-tahun
1895 dan 1950. Pada tahun 1913, beliau sekali lagi berkunjung ke turki dalam
upaya mencari bantuan untuk memulihkan kembali institusi kerajaan di Riau (yang
sudah di bubarkan belanda).
Pada tahun 1899 Raja Ali Kelana menyelesaikan
buku berjudul Perhimpunan Pelakat.
Buku ini berisikan peraturan-peraturan dan perjanjian-perjanjian antara
kerajaan Riau-Lingga dan Hindia-Belanda. Perhimpunan
pelakat kemudian dicetak di Mathaba’at al-Riauwiyah, pulau Penyengat. Pada
tahun 1900. Pada tahun 1993, budayawan Hasan Junus mengalihaksara dan
menyuntingnya, kemudia diterbitkan bersama teks-teks lain oleh proyek IDKD
pemda Tk. I Riau, dalam buku yang berjudul pendokumentasi
naskah kuno Melayu dan kajian Khusus.
Kegiatan kecendekiawanan Raja Ali Kelana juga
ditunjukkan dengan keterlibatannya dalam mendirikan sekolah di Singapur (tahun
1908) bersama Syekh Jalaluddin Tahir al-Azhari, yang kemudian dipindahkan ke
Riau (pada tahun 1909) karena kesulitan
keuangan. Pada tahun 1910, al-Imam menerbitkan bukunya yang berjudul Kumpulan Ringkasan-Berbetulan Lekas-pada
orang yang pantas-dengan pikiran yang lantas. Di dalamnya dihidangkan 31
ringkasan yang terdiri dari 160 pembahasan, diantaranya menyatakan kelebihan
akal, berhimpun bersatu dengan pengetahuan, tawarikh raja-raja dulu, dan
lain-lain. Ringkasan yang ke-30 dan ke-31 ditampilkan dalam bentuk syair.
Karyanya yang lain, berjudul Bughyat al-‘Ani fi Huruf al-Ma’ani,
diterbitkan oleh Mathba’at al-Ahmadiah Press,singapur, pada tahun 1922. Buku
pelajaran bahasa Melayu ini banyak mengambil contoh yang diduga merupakan
pendaman kasih diri pengarangnya sendiri. Dalam buku inilah Raja Ali Kelana
mengemukakan aforisma tentang batas-batas kesetiaan kita pada suatu negeri,
dengan kalimat: “Apabika negeri itu berubah kekuasaannya maka tinggalkan dia.”
Pada tahun 1925, karya Raja Ali Kelana yang lain, berjudul Rencana Madah Pada Mengenal Diri yang Indah, diterbitkan Mathba’at
al-Ahmadiah press, Singapura.
9.
AISYAH SULAIMAN
Beliau lebih dikenal dengan nama Aisyah Suliman
saja. Nama lengkapnya Raja Aisyah binti Raja Sulaiman. Aisyah Sulaiman adalah
cucu Raja Ali Haji . suaminya adalah Raja Khalid bin Raja Hasan atau lebih
dikenal sebagai Khalid Hitam, yang selain menjadi politis kerajaan Riau-Lingga,
juga seorang pengarang. Selain menjadi suaminya, Khalid Hitam sesungguhnya
saudara sepupu Aisyah Sulaiman. Dengan demikian, Aisya Sulaiman memang
keturunan dan hidup di lingkungan keluarga pengarang. Selain itu, beliau
jelaslah keturunan Diraja Kerajaan Riau-Lingga.
Tak selalu dapat di pastikan tarikh kehidupan
Aisyah Sulaiman. Walaupun begitu, beliau di perkirakan lahir pada 1869 atau
1870 dan meninggal pada 1924 atau 1925 dalam usia lebih kurang 55 tahun.
Sebagai puteri Diraja Melayu, Aisyah Sulaiman sangat akrab dengan kehidupan di
lingkungan istanaKerajaan Riau-Lingga. Di sanalah, yaitu di tempat kedudukan
yang di pertuan muda (Raja Muda) Kerajaan Riau-Lingga, di pulau Penyengat
Inderasakti, beliau dilahirkan dan dibesarkan. Akan tetapi, kehidupan di
lingkungan istana Diraja di pulau Penyengat, tanah tumpah darahnya itu, tak
dapat di nikmatinya sampai akhir hayatnya. Pasal, 1913 kerajaan Riau-Lingga
dihapuskan oleh pemerintah colonial Belanda. Karena tidak sudi hidup di bawah
pemerintahan penjajahan Belanda, Aisyah Sulaiman dan keluarganya berhijrah ke
singapura. Tak lama bermustautin di Singapura, beliau harus berpindah lagi ke
Johor karena menghindari orang-orang yang menaruh hati terhadapnya selepas
suaminya tercinta meninggal di Tokyo, Jepang, pada 11 Maret 1914 dalam suatu
misi politik meminta bantuan Pemerintah Jepang untuk menghalau penjajah Belanda
dari kerajaan Riau-Lingga (Kepulauan Riau). Di Johorlah, kemudian, Aisyah
Sulaiman bertempat tinggal sampai ke akhir hanyatnya. Dalam teradisi
kepengarangan, Aisyah Sulaiman dapat digolonkan sebagai pelopor pengarang zaman
peralihan atau transisi dari kesusastraan Melayu tradisionalke susastraan
Melayu –Indonesia modern. Kenyataan itu ditinjau dari sudut masa kepengarangan
dan tema karya yang dihasilkan walaupun beliau masih menggunakan genre kesusastraan tradisional, yaitu
syair dan hikayat. Berdasarkan sudut pandang itu, pendapat yang selama ini
menyebutkan bahwa Musyi Abdullah bin Musyi Abdul Kadir atau Abdullah bin Abdul
Kadir Munsyi sebagai pelopor kesusastraan Melayu modern harus diperdebatkan.
Pasal, Munsyi Abdullah hidup sampai pertengahan abad ke-19, sedangkan masa
peralihan kesusastraan Melayu tradisional ke Melayu modern berlangsung sejak
pertengahan abad ke-19 sampai dengan perempat awal abadke-20. Masa-masa itulah
Aisyah Sulaiman sedang giat-giatnya berkarya, sedangkan Munsyi Abdullah telah
tiada.
Dalam karirnya sebagia pengarang, sepanjang
yang dapat diketahui, Aisyah Sulaiman menghasilkan empat buah karya.
Karya-karya tersebut diperikan sebagai berikut :
1) Hikayat
Syamsul Anwar atau hikayat Badrul Muin. Hikayat ini diduga merupakan karya awal Aisyah Sulaiman.
2) Syair
Khadamuddin. Karya ini
diterbitkan pada 1345 H. atau 1926 M. menurut
Beberapa peneliti, syair ini ditulis setelah beliau pindah ke Singapura.
3) Hikayat
Syarif al-Akhtar. Hikayat ini
baru diterbitkan setelah Aisyah Sulaiman meninggal dunia pada 1929 M.
4) Syair
Seligi Tajam Bertimbal.
Berbeda dengan karya-karya sebelumnya, dalam karyanya ini Aisyah Sulaiman tak
menggunakan nama asli, tetapi memakai nama samara Cik Wok Aminah.
b) Gelombang kedua pengarang di kepulauan Riau
Seiring dengan merosotnya kuasa politik
kerajaan Riau-Lingga pada awal abad ke-20, apalagi setelah kerajaan Melayu Riau
itu dibubarkan oleh Belanda pada tahun 1913, merosot pula tradisi intelektual
Tanjungpinang. Pada masa transisi menuju Indonesia merdeka yang penuh gejolak
ini, tradisi kepengarangan Tanjingpinang mengalami kemerosotan. Selama sekitar
40 tahun, yaitu antara tahun 1929 hingga 1969, tradisi intelektual redup, jika
tidak mati sama sekali. Baru pada tahun 1970-an tradisi intelektual
Tanjungpinang bangkit lagi. Hal itu ditandai dengan lahirnya sastrawan-sastrawan
Indonesia terkemuka asal Tanungpinang.
Inilah gelombang kedua kepengarangan
Tanjungpinang yang dimotori oleh trio sastrawan Hasan Junus, Rida K. Liamsi,
dan Sutardji Calzoum Bachri. Setelah itu, lahirlah sastrawan-sastrawan
Tanjungpinang yang lebih muda, yang lebih muda, yang berakar kuat pada tradisi
mereka. Kehidupan sastra dan kepengarangan di tanjungpinang pun bergairah
kembali, tradisi sastra yang dijejakkan para sastrawan generasi 1970-an itu
sampai generasi mitakhir.
1.
HASAN JUNUS
Hasan Junus adalah guru penyair dan budayawan
Riau. Nyaris tak ada sastrawan Riau semasa yang tidak pernah terkena sentuhan
pemikirannya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengetahuannya yang
sangat luas tentang budaya, tradisi sastra, dan khazanah sastra klasik Riau
menjadikannya sosok tempat bertanya dan meminta pendapat. Pengenalannya yang
sangat luas atas tradisi sastra mancanegara, menjadikannya tumpuan untuk
menggali pengetahuan, dan perhatiannya yang total pada kehidupan sastra di
Riau, menjadikannya pelabuhan tempat sastrawan pergi dan pulang.
Hasan Junus di lahirkan di pulau Penyengat,
kepulauan Riau, 12 Januari 1941. Ia melanjutkan studinya di jurusan Sejarah dan
Antropologi, Fakultas Sastra, Universitas Padjajaran, Bandung. Selain itu, ia
juga memperdalam studi di jurusan Bahasa Timur, Instidute of Foreign Languages.
Tidak puas dengan itu, ia masih memperdalam bahasa-bahasa Eropa pada berbagai
balai kursus dan perkumpulan budaya.
Pada tahun 1983-1986, ia menjadi tenaga
pengajar luar biasa di FKIP, Universitas Islam Riau. Selepas itu, ia mengajar
sastra Bandingan dan Bahasa Naskah Melayu pada Fakultas sastra Universitas
Lancang Kuning, pekanbaru, sampai tahun 1998. Banyak karya yang telah lahir
dari tanganya, baik berupa karya kreatif maupun karya ilmiah, baik karya asli
bmaupun saudaran dan terjemahan.
Karya-karya Hasan Junus telah terbit dalam
sejumlah antologi, antara lain Jelaga, sebuah
kumpulan puisi dan esai bersama Iskandar Leo/ Rida K. Liamsi dan Eddy
Mawuntu(1969), Anthologi of Asean Literature-Oral
Liturature of Indonesia (1983), dan Keremunting,
sebuah kumpulan cerita pendek bersama Rus Abrus, Ediruslan pe Amanriza, Syamsul
Bachri, dan Sudarno Mahyudin (1989).
Sebagian seniman beranggapan bahwa
kecendekiawanan dan kesastrawanan Hasan Junus tidak dapat dilepaskan dari
silsilah leluhurnya, karena dalam diri Hasan Junus telah mengalir darah
pujangga besar Raja Ali Haji.
2.
RIDA
K. LIAMSI
Rida k. Liamsi terlahir dengan nama Ismail
kadir di Dabosingkep, 17 Juli 1943. Awalnya ia bertugas sebagai guru sekolah
dasar, yang antara lain mengajar di Tanjungpinang. Kemudia, ia memutuskan untuk
menjadi jurnalis. Karir jurnalisnya dijalin dengan 8 tahun menjadi wartawan
Harian Suara Karya. Ia kemudian
pindah ke Riau pos, sebuah Koran yang
terbit di pekanbaru ia kemudian menjadi CEO Riau Pos Group (RPG) dan mengelola
kelompok bisnis media di Riau, kepulauan Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara,
dan Nangroe Aceh Darussalam (NAD), termasuk televisi lokal. Rida K. Liamsi
adalah the first and the dalam dunia pers di Riau. Dialah orang Riau pertama
yang mengomandani bisnis media massa yang terbentang di Sumatera mulai dari
Riau hingga ke Nangro Aceh Darussallam.
Minat Rida k. Liamsi pada sastra dan
kesusastraannya dalam menulis puisi, telah mulai sejak ia duduk dibangku sekolah menengah pertama. Saat ia kian serius
menulis puisi, maka puisinya mulai di muat di berbagai surat kabar sarta
majalah budaya. Puisi-puisinya mulai di muat majalah sastra Horison, selain dimuat di berbagai surat
kabar serta majalah budaya. Puisi-puisinya dan esainya terbit pertama kali
dalam jelaga (1969), sementara buku sajaknya yang pertama adalah Ode ke-X
(1981), muncul kemudian buku sajal yang kedua, Tempuling (2003). Setelah itu, terbit kumpulan puisinyayang ketiga,
yakni Perjalanan Kelekatu (2008).
3.
SUTADJI CALZOUM BACHRI
Sutadji Calzoum Bachri dalam khazanah sastra
Indonesia adalah el libertador alias sang pembebas, ia lahir di Rengat, Riau 24
Juni 1941. Ayahnya, Mohammad Bachri adalah ajun inspektur polisi di
Tanjungpinang. Ibunya, May Calzoum, berasal dari Tambelan, Pulau Tujuh,
kepulauan Riau. Sutardji kecil menetap bersama kedua orang tuanya di
Tangjungpinang. Selepas SMA, ia melanjutkan studi ke Jurusan Administrasi
Negara, Fakultas Sosial Politik, Universitas Padjajaran (Unpad), Bandung. Di
sanalah ia terus mengembangkan daya kreatifnya dalam berpuisi yang memang sudah
membara sejak ia masih di tanjungpinang. Puisinya yakni O (1973), Amuk (1977), dan di susul dengan Kapak (1981). Selain menulis puisi ia juga menulis cerpen dan esai.
Cerpen-cerpennya telah terbit dengan judul Hujan
Menulis Ayam (2001) sementara
esainya terbit dalam buku Gelak esai dan
ombak sajak Anno (2001) dan Hijau
Kelon dan puisi (2002). Kedua esai tersebut merupakan esai-esai yang
ditulis bagi harian Kompas dalam kapasitasnya sebagai redaktur puisi Kompas
minggu. Kumpulan esainya yang relative
lengkap adalah Isyarat (2007). Dalam buku yang boleh di bilang tebal ini,
tergambar perjalanan pemikiran Sutardji Calzoum Bachri sejak dulu hingga kini.
Berbagai penghargaan dan anugrah sastra telah
diterimanya, antara lain Hadia puisi DKJ untuk bukunya O (1976) dan bukunya Amuk (1977), penghargaan sastra Chairil
Anwar, DKJ (1993) gelar seniman perdana dari Dewan Kesenia Riau (2001), Anugrah
sastra Majelis sastra Asia Tenggara (Mestera) , Brunai Darussalam (2006),
Achmad Bakrie Award (2008), dan anugrah dari presiden Republik Indonesia (2008)
4.
IBRAHIM SATTAH
Ibrahim Sattah lahir di Tarempak, Laut Cina
Selatan, 1943, Ibrahim Sattah ditinggal kedua orang tuanya selagi masih muda.
Maka sebagai anak muda, dia pun mejalani hidup agak muram, dan tumbuh dalam
keluarga yang kurang mampu pula. Dia hanya menyelesaikan pendidikanya
mengantongi ijazah Sekolah Menengah Ekonomi Pertama. Berbekal ijazah ittu, dia
berangkat ke Tanjungpinang, Bintan, tidak untukmelanjutkan sekolah ke jenjang
berikutnya, sesuai jurusan sebelumnya, melainkan untuk mengikuti ujian masuk
sekolah polisi. Ini berarti Ibrahim tidak mudah memang bercita-cita menjadi
polisi. Tapi itulah satu-satunya satu-satunya kesempatan baginya untuk
melanjutkan sekolah. Nasib rupanya berpihak padanya. Dia adalah satu dari 17
siswa yang lulus tes dari 97 pendaftar. Sekolah polisi itu sendiri terdapat di
Pekanbaru, Riau.
Setelah setahun menjadi polisi ia pun
memeutuskan untuk keluar dari kepolisian. 1978 Ibrahim resmi keluar dari
kepolisian. Menjalankan tugas-tugas menjadi guru rupanya lebih dekat dengan
jiwa Ibrahim tinimbang menjadi polisi. Yang lebih dekat lagi denngan panggilan
jiwanya adalah dunia kepenyairan yang sudah cukup lama digelutinya. Baginya,
polisi ternyata profesi yanf asing. Sesuatu yang berat terutama secara moral.
Ketika itu Ibrahim sudah cukup dikenal sebagai penyair. Bahkan panggilan
jiwanya pada dunia kepenyairan begitu kuat, sehingga ia memutuskan untuk
menekuni dunia kepenyairan dan kesenian sebagai plihan hidupnya. Puisinya sudah
dimuat di majalah Horison, yang
secara menaikkan debutnya sebagai penyair
Puisi-puisi Ibrahim Sattah terbit sebagai buku.
Setelah Dandandit (1975), terbit
Ibrahim (1980) dan Hai Ti (1981).
Buku puisi yang terbit kemudian memuat lagi beberapa puisi yang dimuat dalam
buku sebelumnya, dengan beberapa pembahasan baik diksi maupun tipografi.
Puisi-puisinya dimuat juga dalam antologi dan buku acara sastra, antara lain
dalam Sejumlah Sajak untuk hari
sastera’83 (1983).
5.
BM SYAMSUDDIN
Bm Syamsuddin lahir di Sedanau, 10 Mei 1935, Bm
Syamsuddin menyelesaikan pendidikan di Sekolah Guru Atas (SGA), dan sempat
mengenyam pendidikan tinggi dijurusan sastra dan seni FKIP. Universitas Riau,
Pekanbaru. Sesuai dengan pendidikan formalnya, Bm Sam pernah menjadi guru SD
dan SMP (1955-1981) di beberapa daerah di kawasan Riau. Pernah pula menjadi
dosen luar biasa di FKIP Universitas Islam Riau, Pekanbaru (1988-1994).
Karya drama Fatimah
Sri Gunung (1971), Payung Orang Sekampung-kampung (1975), Warung Bulan (1980) dan
Tunggul (1981). Berkaitan dengan seni
pertunjukan tradisional ini, BM Syam juga menulis buku Mendu Kesenian Rakyat Riau (1981) dan seni Peram Makyong (1982). Di samping itu, BM Syamsuddin menulis cerita
anak-anak, dan untuk itu dia juga banyak menimba ilham dari khazanah tradisi
Kepulauan Riau, stidaknya ada 5 buku cerita anak-anak, yakni Sikelincing dan Sepasan terompah cik gasih (1981),
Batu belah batu bertangkup (1981), dua beradik tiga sekawan (1982), Ligon
(1983), dan cerita rakyat dari batam (1996).
6.
MACHZUMI DAWOOD
Machzumi Dawood dikenal pula sebagai M.D
Moehammad. Ia lahir di Tanjungpinang, 5 Desember 1951. Sejak tahun 1970-an ia
terus menerus aktif brkesenian dan menulis. Tidak kurang dari 11 tahun
(1977-1987) ia menjadi penyelenggara “Ruang sastra dan kebudayaan” RRI
Tanjungpinang. Berbagai lomba juga diikutinya dan membuahkan hasil,diantaranya
pemenang harapan lomba mengarang fiksi Majalah Gadis, Jakarta (1977), pemenang
lomba II lomba cipta puisi 50 tahun Sumpah Pemuda yang diadakan oleh Radio La
Victor dan Bengkel muda Surabaya (1978), dan pemenang III lomba penulisan
pariwisata kepulauan Riau di Tanjungpinang.
Machzumi Dawood memulai karir penyairnya secara
serius sejak tahun 1971. Kumpulan sajaknya yang pertama terbit pada bulan
Desember 1974, yakni Kumpulan Pertama. buku
ini berisi 13 buah sajak dan diterbitkan khusus untuk bengkel teater Grota
Tanjungpinang. Dua tahun kemudian, (1976), kumpulan sajaknya yang kedua terbit
secara stensilan dengan judul Topeng
Bulan. Kali ini berisi 25 sajak. Belakangan, 26 sajaknya yang baru
diterbitkan sebagai kumpulan sajaknya yang ketiga dan diberi judul Sajak Untuk Dia (1996). Puisi-puisinya
cenderung liris dan menjadikan peristiwa dan kehidupan sehari-hari sebagai
sumber utama inspirasi puitinya.
7.
TUSIRAN SUSENO
Tusiran suseno lahir di Tanjungpinang, 30 Juni
1957, di antara pengarang-pengarang Tanjungpinang Tusiran suseno terbilang
sangat produktif. Dia menulis puisi, cerpen, novel dan drama. Mula-mula Tusiran
menulis Sandiwara Radio, terutama ketika pria itu bekerja di Radio Republik
Indonesia (RRI). konon jumlah drama radionya mencapai ribuan. Sebagian mendapat
sejumlah penghargaan. Setegar karang, misalnya
meraih juara II swara kencana (1989), dan ombak
gelombang meraih juara I Swara kencana (1991) sekaligus mewakili Indonesia
memperebutkan Trophy Morits Hight di Jepang. Selanjutnya, pelangi
meraih juara II (1995) dan karang di
laut hati meraih Juara II (1998). Karya novelyang sudah terbit adalah Matahari di bawah Laut (1998), sebuah
perjalanan : Menampak tak berjejak (1999), bangsawan (2003), siti paying
(2004), dan mutiara karam (2008). Novel mutiara karang meraih juara II
sayembara penulisan novel yang diselenggarakan
oleh dewan kesenian Jakarta (DKJ) di tahun 2006. Meski menulis semua
genre sastra, tak syak lagi novel-novel sastrawan yang kini bekerja sebagai
pegawai negeri pada pemerintahan kota Tanjungpinang, patut mendapat perhatian
khusus terutama dalam konteks sastra Indonesia modern.
Tak diragukan lagi bahawa Tusiran hamper
menyeluruh memberikan hamper seluruh minat dan perhatianya pada kebudayaan
Melayu. Karya-karyanya yang menyuarakan berbagai aspek tentang dunia Melayu,
khususnya Melayu kepulauan Riau, yang pastilah mengukuhkan posisinya sebagai
budayawan Melayu yang penting. Lewat karya-karyanya Tusiran Suseno telah
mengemukakan aspek-aspek penting dari kebudayaan dan masyarakat Melayu, dengan
kompleksitas masalah masa lalu dan masa kininya yang kian menantang.
8.
ABDUL KADIR IBRAHIM
Abdul Kadir Ibrahim, yang dikenal dan kerap di
panggil dengan nama penanya AKIB,lahir
pada 4 Juni 1966 di Kelarik Ulu, Natuna, Kepri, dari pasangan H. Ibrahim dan
Hj. Hatijah. Meski minatnya pada seni, khusus sastra, sudah mengelora sejak
duduk di bangku Madrasah Aliyah, AKIB ternyata memilih melanjutkan studi di
bangku pendidikan guru agama Islam di Fakultas Tarbiayah Institud agama Islam
Negeri Sultan Syarif Qasim Pekanbaru, Riau. Ia meraih gelar sarjana S-1 pada
1991. Selepas itu menempuh pendidikan pascasarjana sebagai Megister Teknik
(S-2) pada program Megister Teknik Pembangunan wilayah dan kota, Universitas
Diponegoro, Semarang , Jawa Tengah (2008).
Puisi-puisinya yang terbit pertama kali dalam
kumpulan puisi 66 Menguak (1991) sementara
itu, ia bersama Muchid al Bintani Menerbitkan buku Cakap Rampai Orang Patut-patut (2000). Selain puisi ia juga menulis
cerpen. Cerpennya terbit dalam menjual
Natuana yang diterbitkan oleh yayasan Sagang, Pekanbaru (2000). Harta Karun
merupakan kumpulan cerita anak-anak, yang sebagian digali dari
khazanah cerita rakyat Riau dan sebagainya di gali dari kehidupan sehari-hari
di wilayah laut kepulauan Riau, khususnya Natuna. Buku ini masuk nominasi pusat
pebukuan Nasional, Jakarta, 1997, diterbitkan Unri press, Pekanbaru (2000 dan
2001). Selain puisi dan cerpen, ia juga menulis esai dan telaah. Esai dan
telaahnya telah terbit, baik dalam bunga rampai bersama penulis lain maupun
sebagai karya tunggal. Esai dan telaah yang ditulisnya bersama penulis lain
adalah Aisyah Sulaiman Riau, pengarang
dan pejuang perempuan (2004), Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji sebagai bapak
Bahasa Indonesia (2004), Tanjungpinang kota Gurindam, Gurindam Dua belas Raja
Ali Haji (2004), dan Penafsiran dan Pejelasan Gurindam Dua Belas Raja Ali Haji
(2009).
Pengabdianya selama berpuluh tahun di bidang
kebudayaan, khususnya sastra, membuahkan hasil berupa pengakuan dan penghargaan
secara nasional. Penghargaan nasional yang diraihnya adalah Man of the year 2009 dari yayasan
penghargaan Indonesia, dan Indonesia best executive of the year 2009 dari Citra
Mandiri Indonesia. Dari pernikahanya dengan Ermita Thaib, S.Ag., AKIB
dikaruniai tiga anak, Tiara ayu Karmila (26 September 1999), Safril Rahmat (22
April 2002), dan Sasqia Nurhasanah (29 Juni 2006). Abdul kadir Ibrahim tentu
saja merupakan salah satu seorang penyair penting pentinfg kepulauan Riau.
9.
HOESNIZAR
HOOD
Lahir di desa Sungai Ungar, Kepulauan Riau, 11
Desember 1967, Hoesnizar hood mendirikan
pusat latihan seni Sanggam di
Tanjungpinang, 1997, yang lebih berorientasipada berbagai seni pertunjukan
dengan akar budaya melayu.
Buku pertamanya adalah Kalau: Tiga Racik Sajak (1997), adapun buku keduanya adalah Tarian
orang Lagoi (Pekanbaru: Yayasan Kata,1999) dengan kata pengantar oleh Hasan
Junus. Mewariskan kebudayaan Melayu, Hoesnizar Hood menggali roh kebudayaan
Melayu itu sendiri dan menggemakanya kembali melalui karya-karyanya. Dan,
suaranya, adalah gema gelisah seorang penyair akan kampung halamanya yang
mengalami berbagai guncangan.
10.
BHINNEKA SOERYA SAM
Bhinneka Soerya Sam sama dengan penyair
seniornya, Ibrahin Sattah. Yakni polisi. Setelah menamatkan bangku SLTA (SMA)
di tahun 1977, pria kelahiran Tanjungpinang, 1 Maret 1960, ini memang mengikuti
pendidikan militer. Dan sejak tahun 1978, dia resmi memasuki dinas kemilitiran,
ditempatkan di institusi militer. Seterusnya Bhineka bertugas di dinas
kepolisian samapi dia menyatakan berhenti, 1 Juni 1998.
Minatnya pada kesenian sudah tumbuh sejak dia
duduk di bangku sekolah. Sejak itu pula dia berkecimpung di dunia kesenian.
Yang mula-mula digelutinya adalah seni tari, khususnya tari Melayu, lebih
khusus lagi teri zapin. Dia dikenal sebagai penari zapin yang andal. Sebagai
penari, di tahun 1976 dia bergabung dengan Sanggar Mayang Sari di Tanjungpinang.
Bersama sanggar ini dia mementaskan beberapa nomor pertunjukan tari.
Puisi-puisinya, Tanda mata (1996, berama Tusiran suseno, dan Heru Yago Sumargo)
Sajak-sajak dimimbar DPR (1998, bersama enam penyair Tanjungpinang), Rampai
Melayu untuk kepulauan Riau (2006), dan ka te pe (2007).
Demikianlah, Bhinneka Soerya Sam mewarisi
pemikiran tasawuf falsafi, satu corak spekulatif dalam tradisi keilmuan dan
kerohanian islam yang pernah meramaikan khazanah intelektual dan spiritual
Islam itu sendiri, termaksud di dunia Melayu.
11.
JUNEWAL MUCHTAR
Di kenal dengan nama Lewan. Nama sebenarnya
adalah Junewal Muchtar. Lawen adalah ejaan terbaik lima huruf terakhir pada
nama depan penyair kelahiran kepulauan Riau, 2 Juni 1956 ini. Junewal telah
menerbitkan 4 buku kumpulan puisi, yaitu Batu
Api (Tanjungpinang yayasan kata, 1999), perjalanan dara ke kota (2003), sembilu
rindu (2003), dan topeng Makyong (2008).
Dilihat dari tradisi sastra Melayu, hal ini
sesungguhnya tidak mengherankan. Sebagai seorang Melayu, Junewal tampak
terinspirasi spirit tradisi berbalas pantun. Dalam berbalas pantun, diperlukan
spontanitas tingkat tinggi, di mana seorang pemantun harus menjawab atau
membalas secara spontan pantun yang
dilontarkan maupun pantun balasan mengandung relevansi dalam konteks masalah
yang sedang dibicarakan.
Obsesi kepenyairan Junewal Muchtar adalah
melawan segala bentuk api, dari mana pun ia datang. Maka, Juewal antara lain
menulis : tak seharusnya kubawa biduk
terbang ke mana / sukasukakulah/ kalian tidak boleh tahu, kalai kalian tahu ini
semua, pasti / kalian akan menghancurkan diriku dengan sebilah batu api…
12.
SURYATATI A MANAN
Orang
yang memegang kekuasaan tidak punya waktu membaca buku. Orang yang membaca buku
tidak pantas memegang kekuasaan, demikian ucapan Volitaire. Surya Tati Amanan adalah orang yang memegang kukuasaan,
dan ia senantiasa membuat dirinya selalu punya waktu membaca buku. Suryatati
bukan hanya memegang kekuasaan dan punya waktu membaca buku, ia bahkan punya
waktu untuk menulis, bahkan menulis puisi, sebuah genre tulisan yang tidak
lazim ditulis para penguasa. Sejumlah buku puisi telah terbit dari tanganya,
antara lain: Melayukah Aku (2007), Perempuan
Walikota (2008), dan Surat Untuk
Suami (2010). Buku kumpulan puisi bersama, yakni Jalan bersama, berupa bunga rampai bersama penyair lain (2008). Perempuan Dalam Makna (2009) dan Bual Kedai Kopi (2010) adalah buku puisi
dan pantun yang terbit bersama Martha Sinaga. Selain menulis puisi,
Tatik-demikian ia akrab di panggil-juga menulis esai dan telaah. Yang telah
terbit adalah revitalisasi Sastra Melayu.
Penyair yang bernama lengkap Siryatati A. Manan
ini, lahir di tanjungpinang, kepulauan Riau, 14 April 1953. Selesai merai gelar
Sarjana Muda APDN (Akedemi Pemerintahan Dalam Negeri) Pekanbaru, ia bertugas
sebagai tenaga honorer di kantor Bupati Kabupaten Kepulauan Riau (1976).
Setahun kemudian ia diangkat sebagai CPNS, la;u di angkat sebagai PNS dengan
jabatan pertama sebagai kasubbag perundang-undangan Bagian Hukum, kantor bupati
kabupaten kepulauan Riau (1978-1980). Pada yahun 1983 ia ditunjuk sebagai plt.
Kabag Hukum dan mendapat kesempatan belajar ke IIP (Institut Ilmu Pemerintahan)
Jakarta. Sesuai menyelesaikan kuliah dan meraih gelar sarjana (1985), ia
ditugaskan kembali sebagai Kabag Perekonomian (1985-1993).
Sebenarnya puisi-puisi Tatik, sudah menarik
perhatian ia menjadi walikota. Namun, dampak kepenyairannya sangat terasa
setelah ia menjadi walikota. Dan kerap membacakan puisi-puisinya pada
acara-acara resmi, termasuk saat memimpin upacara. Sudah barang tentu saat
pertama kali memimpin upacara resmi dan membacakan puisinya di sana, baik
masyarakat maupun anak buahnya tersentak kaget. Namun, melihat bu walikota
dengan tenang dan yakin kerap membacakan puisi dalam berbagai kesempatan. Tidak
butuh waktu lama, kebiasaan membacakan puisi –yang tandinya hanya dilakukan
oleh sejumlah penyair dan deklamator –
itu pun manjadi wabah di kalangan masyarakat luas. Puisi, tiba-tiba
menjadi sesuatu yang akrab dan diakrabi oleh masyarakat Tanjungpinang.
Dalam puisinya, Suryatati A. Amanan cenderung
menanyakan hal-hal krusial semacam itu justru pada dirinya sendiri. Eksplorasi
estetik, rupanya bukan perhatian utama Suryatati. Ia lebih bersuara dengan
sederhana. Puisi, di matanya bukanlah sebuah pergaulan eksistensial antara aku
dan ada, melainkan lebih berupa cara mengada bersama dan cara berkomunikasi
dengan masyarakatnya, lebih khusus lagi. Masyarakat Tanjungpinang. Dengan puisi
ia mengajak dirinya dan pembacanya untuk saling bertukar-tukar temapat, saling
bertanya dan menguji sudut pandang, utuk tiba pada semacam pemahaman, bahwa
sesuatu hal seringkali akan bergantug pada siapa yang memandang dan bagaimana
ia di pandnag. Puisi, dalam hal ini, adalah sebuah cara untuk menghormati
keberagaman pandangan sambari membuka jalan untuk membicarakan pandangan
tersebut secara lebih rileks dan tidak tegang.
C.
KARYA-KARYA SASTRA
1.
“Gurindam Dua Belas 12” Karya Raja Ali
Haji
Gurindam I
Barang siapa tiada memegang agama,sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama. Barang siapa mengenal yang empat,maka ia itulah orang ma’rifat Barang siapa mengenal Allah,suruh dan tegahnya tiada ia menyalah. Barang siapa mengenal diri,maka telah mengenal akan Tuhan yang bahari. Barang siapa mengenal dunia,tahulah ia barang yang terpedaya. Barang siapa mengenal akhirat,tahulah ia dunia melarat.
Barang siapa tiada memegang agama,sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama. Barang siapa mengenal yang empat,maka ia itulah orang ma’rifat Barang siapa mengenal Allah,suruh dan tegahnya tiada ia menyalah. Barang siapa mengenal diri,maka telah mengenal akan Tuhan yang bahari. Barang siapa mengenal dunia,tahulah ia barang yang terpedaya. Barang siapa mengenal akhirat,tahulah ia dunia melarat.
Gurindam II
Barang siapa mengenal yang tersebut, tahulah ia makna takut. Barang siapa meninggalkan sembahyang, seperti rumah tiada bertiang. Barang siapa meninggalkan puasa, tidaklah mendapat dua temasya. Barang siapa meninggalkan zakat, tiadalah hartanya beroleh berkat. Barang siapa meninggalkan haji, tiadalah ia menyempurnakan janji.
Barang siapa mengenal yang tersebut, tahulah ia makna takut. Barang siapa meninggalkan sembahyang, seperti rumah tiada bertiang. Barang siapa meninggalkan puasa, tidaklah mendapat dua temasya. Barang siapa meninggalkan zakat, tiadalah hartanya beroleh berkat. Barang siapa meninggalkan haji, tiadalah ia menyempurnakan janji.
Gurindam III
Apabila terpelihara mata,
sedikitlah cita-cita.
Apabila terpelihara kuping,
khabar yang jahat tiadalah damping.
Apabila terpelihara lidah,
nescaya dapat daripadanya faedah.
Bersungguh-sungguh engkau memeliharakan tangan,
daripada segala berat dan ringan.
Apabila perut terlalu penuh,
keluarlah fi’il yang tiada senonoh.
Anggota tengah hendaklah ingat,
di situlah banyak orang yang hilang semangat
Hendaklah peliharakan kaki,
daripada berjalan yang membawa rugi.
Gurindam IV
Hati kerajaan di dalam tubuh,
jikalau zalim segala anggota pun roboh.
Apabila dengki sudah bertanah,
datanglah daripadanya beberapa anak panah.
Mengumpat dan memuji hendaklah pikir,
di situlah banyak orang yang tergelincir.
Pekerjaan marah jangan dibela,
nanti hilang akal di kepala.
Jika sedikitpun berbuat bohong,
boleh diumpamakan mulutnya itu pekong.
Tanda orang yang amat celaka,
aib dirinya tiada ia sangka.
Bakhil jangan diberi singgah,
itupun perampok yang amat gagah.
Barang siapa yang sudah besar,
janganlah kelakuannya membuat kasar.
Barang siapa perkataan kotor,
mulutnya itu umpama ketur.
Di mana tahu salah diri,
jika tidak orang lain yang berperi.
Gurindam V
Jika hendak mengenal orang berbangsa,
lihat kepada budi dan bahasa,
Jika hendak mengenal orang yang berbahagia,
sangat memeliharakan yang sia-sia.
Jika hendak mengenal orang mulia,
lihatlah kepada kelakuan dia.
Jika hendak mengenal orang yang berilmu,
bertanya dan belajar tiadalah jemu.
Jika hendak mengenal orang yang berakal,
di dalam dunia mengambil bekal.
Jika hendak mengenal orang yang baik perangai,
lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai.
Gurindam VI
Cahari olehmu akan sahabat,
yang boleh dijadikan obat.
Cahari olehmu akan guru,
yang boleh tahukan tiap seteru.
Cahari olehmu akan isteri,
yang boleh menyerahkan diri.
Cahari olehmu akan kawan,
pilih segala orang yang setiawan.
Cahari olehmu akan abdi,
yang ada baik sedikit budi,
Gurindam VII
Apabila banyak berkata-kata,
di situlah jalan masuk dusta.
Apabila banyak berlebih-lebihan suka,
itulah tanda hampir duka.
Apabila kita kurang siasat,
itulah tanda pekerjaan hendak sesat.
Apabila anak tidak dilatih,
jika besar bapanya letih.
Apabila banyak mencela orang,
itulah tanda dirinya kurang.
Apabila orang yang banyak tidur,
sia-sia sahajalah umur.
Apabila mendengar akan khabar,
menerimanya itu hendaklah sabar.
Apabila mendengar akan aduan,
membicarakannya itu hendaklah cemburuan.
Apabila perkataan yang lemah-lembut,
lekaslah segala orang mengikut.
Apabila perkataan yang amat kasar,
lekaslah orang sekalian gusar.
Apabila pekerjaan yang amat benar,
tidak boleh orang berbuat onar.
Gurindam VIII
Barang siapa khianat akan dirinya,
apalagi kepada lainnya.
Kepada dirinya ia aniaya,
orang itu jangan engkau percaya.
Lidah yang suka membenarkan dirinya,
daripada yang lain dapat kesalahannya.
Daripada memuji diri hendaklah sabar,
biar pada orang datangnya khabar.
Orang yang suka menampakkan jasa,
setengah daripada syirik mengaku kuasa.
Kejahatan diri sembunyikan,
kebaikan diri diamkan.
Keaiban orang jangan dibuka,
keaiban diri hendaklah sangka.
Gurindam IX
Tahu pekerjaan tak baik,
tetapi dikerjakan,
bukannya manusia yaituiah syaitan.
Kejahatan seorang perempuan tua,
itulah iblis punya penggawa.
Kepada segaia hamba-hamba raja,
di situlah syaitan tempatnya manja.
Kebanyakan orang yang muda-muda,
di situlah syaitan tempat berkuda.
Perkumpulan laki-laki dengan perempuan,
di situlah syaitan punya jamuan.
Adapun orang tua yang hemat,
syaitan tak suka membuat sahabat
Jika orang muda kuat berguru,
dengan syaitan jadi berseteru.
Tahu pekerjaan tak baik,
tetapi dikerjakan,
bukannya manusia yaituiah syaitan.
Kejahatan seorang perempuan tua,
itulah iblis punya penggawa.
Kepada segaia hamba-hamba raja,
di situlah syaitan tempatnya manja.
Kebanyakan orang yang muda-muda,
di situlah syaitan tempat berkuda.
Perkumpulan laki-laki dengan perempuan,
di situlah syaitan punya jamuan.
Adapun orang tua yang hemat,
syaitan tak suka membuat sahabat
Jika orang muda kuat berguru,
dengan syaitan jadi berseteru.
Gurindam X
Dengan bapa jangan durhaka,
supaya Allah tidak murka.
Dengan ibu hendaklah hormat,
supaya badan dapat selamat.
Dengan anak janganlah lalai,
supaya boleh naik ke tengah balai.
Dengan isteri dan gundik janganlah alpa,
supaya kemaluan jangan menerpa.
Dengan kawan hendaklah adil supaya tangannya jadi kafill.
Gurindam XI
Hendaklah berjasa,
kepada yang sebangsa.
Hendaklah jadi kepala,
buang perangai yang cela.
Hendaklah memegang amanat,
buanglah khianat.
Hendak marah,
dahulukan hajat.
Hendak dimulai,
jangan melalui.
Hendak ramai,
murahkan perangai.
Gurindam XII
Raja muafakat dengan menteri,
seperti kebun berpagarkan duri.
Betul hati kepada raja,
tanda jadi sebarang kerja.
Hukum adil atas rakyat,
tanda raja beroleh inayat.
Kasihkan orang yang berilmu,
tanda rahmat atas dirimu.
Hormat akan orang yang pandai,
tanda mengenal kasa dan cindai.
Ingatkan dirinya mati,
itulah asal berbuat bakti.
Akhirat itu terlalu nyata,
kepada hati yang tidak buta.
2.
“Syair Khadamuddin” (1987,
13-14): Karya Aisyah Sulaiman
“Beberapa
Kabilah bersamanya itu
Berjalan darat ke negeri ratu
Tiba-tiba datang perompak di situ
Menyamun merampas tiada tentu
Berjalan darat ke negeri ratu
Tiba-tiba datang perompak di situ
Menyamun merampas tiada tentu
Ada melawan ada
yang lari
Khadamuddin muda bestari
Bersama-sama membawa diri
Di suatu gua di dalam albari
Khadamuddin muda bestari
Bersama-sama membawa diri
Di suatu gua di dalam albari
Syahdan adapun
mereka itu yang lari
Ada setengah balik ke negeri
Mendapatkan Khadamuddin ampunya isteri
Berkabarkan suaminya dibunuh pencuri
Ada setengah balik ke negeri
Mendapatkan Khadamuddin ampunya isteri
Berkabarkan suaminya dibunuh pencuri
Dengan dalilnya
bukan suatu
Tiap-tiap orang mensaksikan begitu
Sahlah mati saudagar itu
Dibunuh penyamun di atas batu” (Ding, 1999:93)
Tiap-tiap orang mensaksikan begitu
Sahlah mati saudagar itu
Dibunuh penyamun di atas batu” (Ding, 1999:93)
3.
“Tapi “ Karya Sutardji Calzoum Bachri
Aku
bawakan bunga padamu
Tapi kau bilang masih
Aku
bawakan resahku padamu
Tapi kau bilang hanya
Aku
bawakan darahku padamu
Tapi kau bilang Cuma
Aku
bawakan mimpiku padamu
Tapi kau bilang meski
Aku
bawakan dukaku padamu
Tapi kau bilang tapi
Aku
bawakan arawahku padamu
Tapi kau bilang kalau
Tanpa
apa aku datang padamu
Wah!
4.
“Air Kata-Kata” Karya Junewal
Muchtar
Puih
Mari kita
reguk air katakata
Di puncak
suka suka kita
Kita daki
sebisa kita yang kita inginkan
Dalam segala
ingin dan angan
Kita
berenang dalam lautan hayal
Memburu jiwa yang bimbang dalam diri
Puih
Mari kita
berbagi rasa dalam laut
Kedukaan
kita
Dan kita
hela pada perahu musa yang
Membawa
sejta harapan
Mencari
siapa
Air katakata
Menakik ke
jiwa jiwaku
Mencari dari
segala inginku
Hingga aku
mabuk dalam duka
Melihat
negriku yang semakin sepi
Bagaikan
sepi diantara dua mempi
Nyeri di
matahari.
5.
“Keluhan III” Karya Suryatati A. Manan
Bu
wali, bagaimana dengan proposal kami?
Katanya
kemarin menunggu Anggaran pendapaan
Daerah
diketok
Sekarang
sudah di ketok , kenapa belum cair-cair
Juga?
Bu,
terima kasih
Proposal
kami sudah disetujui
Tapi
katanya dana pula yang tak ada
Bu,
katanya proposal dah tak ada masalah
Sudah
ada disposisi, dana ada tapi bendaharawan pula
Yang
tidak ada
Bu,
kami sudah berkali-kali ke sini
Dijanjikan
dari hari kehari, berminggu-minggu
Ditunggu,
berbulan-bulan
Menaruh
harapan, samapai akhirnya
Tutup
tahun anggaran
Yang
dijanjikantinggal kenangan
Tunggu
tahun hadapan katanya.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sudah
sejak abad ke-19 ada hasil-hasil sastra berbahasa Melayu yang tidak ditulis
oleh orang-orang yang berasal dari Kepulauan Riau atau Sumatra. Juga bahasa
yang dipergunakannya akan sulit disebut sebagai bahasa Melayu yang murni atau
bersih. Bahasa Melayu yang dipergunakan oleh para pengarang itu bukanlah bahasa
Melayu Tinggi, melainkan bahasa Melayu rendah atau bahasa Melayu pasar. Sejak abad ke-19, tanjung pinang tidak hanya
berkembang sebagai kota politik dan ekonomi. Lebih dari itu ia telah berkembang
juga sebagai kota budaya. Hal itu ditandai dengan munculnya tradisi
intelektual, dengan sejumlah cendekiawan yang produktif menulis, dikenal
sebagai pujangga. Gelombang pertama pengarang di kepulauan Riau yaitu, Raja
Ahmad, Raja Ali Haji, Haji Ibrahim, Raja Daud, Raja Hasan, Khalid Hitam, Abu
Muhammad Adnan, Raja Ali Kelana. Aisyah Sulaiman.Seiring dengan merosotnya
kuasa politik kerajaan Riau-Lingga pada awal abad ke-20, apalagi setelah
kerajaan Melayu Riau itu dibubarkan oleh Belanda pada tahun 1913, merosot pula
tradisi intelektual Tanjungpinang. Pada masa transisi menuju Indonesia merdeka
yang penuh gejolak ini, tradisi kepengarangan Tanjingpinang mengalami kemerosotan.
Selama sekitar 40 tahun, yaitu antara tahun 1929 hingga 1969, tradisi
intelektual redup, jika tidak mati sama sekali. Baru pada tahun 1970-an tradisi
intelektual Tanjungpinang bangkit lagi. Hal itu ditandai dengan lahirnya
sastrawan-sastrawan Indonesia terkemuka
asal Tanungpinang. Gelombang kedua
pengarang di kepulauan Riau, yaitu Hasan Junus, Sutardji Calzoum Bachri, BM
Syamsuddin, Machzumi Dawood, Tusiran Suseno, Abdul Kadir Ibrahim, Hoesnizar
Hood, Bhinneka Soerya Sam, Suryatati A. Amanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar